Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Aku Berhutang Pada Rakyatku"

1 November 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:56 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berhutang budi pada rakyatku, karena mereka telah mempercayaiku untuk memimpin mereka. Mestinya kepercayaan itu semakin memuliakan dan  menyejahterakan mereka.
Namun apa yang terjadi, kesesakan negeri ini seakan tak berhenti.

Bumi menangis, batuk muntah debu, pasir dan batu. Banjir melantak semua yang tampak. Laut menguap, melalap pepohonan yang ada dipinggir pantai,
tak hanya pohon, ratusan bahkan ribuan manusia ikut tertelan didalamnya.

Satu belum selesai, menyusul prahara dan bencana yang lain.
Masih juga sahabat karib, rekan kerja ... bahkan orang yang tak tahu duduk perkaranya ikut bicara. Andaikan rakyat jelata, tak berpendidikan, bicara tak benar aku bisa dengar. Tapi jika orang berpendidikan, bicara tak terarah, mungkin yang ada, aku cuma marah.
Seolah  bicara itu telah mengatasi masalah secara tuntas-tas.

Entah mengapa semua serba lambat, penanganan yang lambat, pengertian yang lambat bahkan seolah manusia hanya onggokan daging dungu (bdk. penanganan masalah Krakatau Steel, Amien: Kita seperti Bangsa Dungu). Masih juga ada manusia tak sadar, kalau  ia berdiri dikaki dan kepala penderitaan orang lain....

Tak perlu malu untuk mengatakan, "Rakyatku, aku masih belajar memimpin, terlebih memimpin diri ku sendiri". "Rakyatku yang kuwakili, maafkan aku karena aku tidak peka akan rasa hatimu, hati yang butuh perhatian lebih.... "

Ah, semuanya telah dan akan berlalu. Tak selamanya matahari itu akan menyengatkan panasnya. Ada saatnya ia memancarkan sinar sejuk pagi hari. Ada saatnya ia memaparkan panas terik disiang hati, tapi kadang  ia juga tak terasakan panasnya karena tertutup mendung yang menggelembung.

Aku hanya bisa berharap, semoga jalan hidup ini tak sepahit daun pepaya. Dan semoga aku bisa melihat hal yang baik, sekalipun pahit; daun pepaya itu  masih ada yang bisa diharapkan, sebagai obat. Aku juga masih bisa berharap, duniaku tak segelap mataku, memandang semua kelam. Mengintip semua lurik.... Semoga semua bayang kelam segera tenggelam. Kuingin dunia baru, maju.

________________________________________________
*) Tulisan sore ketika langit mendung berselimut kabut...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun