Tiga hari aku mengunjungi, menemani dan mencoba mengertimu. Ya, aku cukup mengerti dirimu. Engkau yang berpenduduk padat, rapat. Dimana-mana aku hanya melihat manusia menyemut padat merayap. Semuanya sibuk bergegas. Apalagi dijalan. Jalan tol ibarat jalan tikus, gang kota ibarat jalan semut. Wuah....dijalan - jalan itu engkau langka senyap, langka udara segar. Aku takut engkau "bisa jadi kota tak layak huni, bukan karena kelakuan rakyat", seperti kata Srempet **). Engkau kota hidup.
Aku mengerti, mencoba mengerti dirimu. Dalam kategori manusia baru sepertiku, engkau masih ramah. Engkau ramah menjamah, seramah temanmu yang menggerayangi isi kocekku. Seribu hati, seribu jantung, mesti harus kuberikan padamu. Tiga hari pula aku mencoba menoleh dan menoleransi engkau apa adanya. Aku cuma bisa menikmati, ya menikmati semuanya, seperti kata sahabatku Silveria Verawaty, "selamat menikmati Jakarta, Pak".
Ya Jakarta...o Jakarta. Selamat tinggal.
Kupikir aku tak akan bermimpi menemanimu selamanya. Hanya orang-orang yang bermental baja yang sanggup menemanimu. Aku belum sanggup, belum sanggup. Mentalku masih mental tempe rasa kedelai. Bahkan kadang aku penakut..... Takut akan pergerakan hidup yang terlalu ganas, dan kadang berrasa panas. Aku tak sanggup untuk semunya itu.
Selamat tinggal Jakarta. Cintaku besertamu, untuk perjuanganmu. Semoga engkau sanggup menegakkan yang bermartabat. Salam untuk sahabatku semuanya yang berlindung di bawah namamu. Beri mereka kehangatan. Beri mereka cinta.
Jakarta...Jakarta, Selamat tinggal.
__________________________________________________
*) Mercure Rekso - Hayam Wuruk, Sabtu, 05 Juni 2010; jam 3.40, ketika langka senyap dikeramaian kota
**) Sinar Harapan, Rabu, 2 Juni 2010, hlm.1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H