Dayak Sengkunang (Beaje) adalah sub-suku Dayak rumpun Bidayuhic (Klemantan) yang bermukim di wilayah adat Sengkunang, tepatnya di desa Mandor Kiri, Kecamatan Jompo, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Indonesia.
Masyarakat Dayak Sengkunang memiliki bahasa tutur dalam kesehariannya yakni bahasa Beaje yang memiliki kemiripan hampir diatas 90% dengan bahasa Dayak Mali, dialek peruan atau juga yang dikenal dengan bahasa Peruan.
Menurut tradisi lisan (cerita tetua masyarakat/ sesepuh Sengkunang), mengatakan bahwa masyarakat adat yang kini dikenal dengan Dayak Sengkunang berasal dari daerah Tayan dan Sosok, sekitar Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Penyebaran Dayak Mali Peruan ke daerah wilayah adat Binua Angan (Beaye), Binua Rentawan (Bepantu) dan Sengkunang (Beaje) menyebabkan keturunannya berpisah dengan induk sukunya yaitu Dayak Mali Peruan. Adapun alasannya berpisah dengan suku Dayak Mali karena batas antara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Landak dari daerah aliran sungai.
Sejak dipisahkannya pada zaman Hindia-Belanda, Dayak Sengkunang bergabung dengan sub-suku Dayak Rentawan karena kekuasaan ketemenggungan.
Dayak Sengkunang sendiri masih menjaga tradisi, budaya, adat istiadat dari suku mereka agar tidak punah. Salah satu tradisi budaya dan adat istiadat yang masih terpelihara dengan baik yakni upacara adat Notok'ng.
Upacara Notok'ng merupakan upacar yang dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat yang kerap mengganggu tanaman-tanaman orang Sengkunang. Upacara ini dilakukan dalam bentuk pemberian sesaji sekaligus meminta kepada roh-roh jahat agar pergi meninggalkan ladang-ladang mereka.
Menurut pendataan penduduk awal tahun 2015, jumlah penutur bahasa Sengkuang sebanyak 2.191 jiwa yang terdiri dari 1.127 pria, dan wanita sebanyak 1.064 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 560 (KK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H