Kemajuan bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) terus berputar. Memasuki era Society 5.0, kehidupan masyarakat berkutat pada teknologi digital yang turut serta dalam perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Munculnya Virtual/ Augmented Reality serta Artificial Intelligence (AI) kini lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan ini tentunya diharapkan dapat digunakan sesuai proporsinya masing-masing dan pada akhirnya dapat mewujudkan Suistanable Development Goals (SDGs) demi kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua makhluk di planet bumi.
      Dalam dunia medisinal, kemajuan teknologi juga memberi dampak yang cukup berarti bagi pengadaan pelayanan kesehatan. Pengunaan Artificial Intelligence (AI) serta robot tentunya bukan lagi hal yang langka ditemukan dalam dunia kesehatan. Begitu pula dengan kehadiran telefarmasi yang menjadi inovasi dalam dunia kefarmasian. Melansir dari PMK No. 14 Tahun 2021, telefarmasi adalah pelayanan kefarmasian oleh apoteker melalui penggunaan teknologi telekomunikasi dan sistem informasi kepada pasien.
      Telefarmasi mulai mengepakkan sayapnya pada masa pandemi COVID-19, dimana virus yang merenggut nyawa lebih dari 7 juta jiwa tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat global. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang ditetapkan pemerintah Indonesia mengakibatkan terbatasnya ruang gerak masyarakat yang juga membuat pelayanan kefarmasian dari apoteker kepada pasien secara langsung sangat tidak memungkinkan. Pelayanan telefarmasi hadir dengan menawarkan pelayanan informasi obat, konseling pasien, monitoring terapi obat dan kepatuhan pasien, serta monitoring efek samping obat (Baldoni et al., 2019). Telefarmasi hingga kini tetap eksis dan semakin berkembang dalam pemberian pelayanan kefarmasian bagi masyarakat luas.
      Semenjak kehadirannya dalam praktis farmasi, telefarmasi telah dianggap berhasil mengintegrasikan teknologi dengan dunia farmasi. Hanya dengan menggunakan perangkat digital, seperti smartphone atau komputer, pasien sudah mampu berkonsultasi dengan apoteker tanpa harus mendatangi secara langsung apotek atau rumah sakit pemberi layanan. Hal ini tentunya sangat membantu bagi masyakat yang memiliki keterbatasan mobilitas atau bagi mereka yang tinggal di daerah yang masih belum terjangkau layanan kesehatan. Bagi masyarakat yang mungkin memiliki keterbatasan waktu, telefarmasi juga dapat dimanfaatkan untuk mempersingkat waktu karena dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Selain itu, telefarmasi juga memampukan apoteker untuk melakukan monitoring perihal efek samping serta  kepatuhan pasien dalam konsumsi obat.
      Dibalik segudang kelebihan yang dimiliki telefarmasi, beberapa pihak beranggapan bahwa masih banyak hal yang perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan telefarmasi. Pengadaan telefarmasi yang berhubungan erat dengan layanan internet tentunya perlu memperhatikan bahwa Indonesia masih memiliki banyak wilayah yang belum terjangkau internet. Kelompok rentan seperti pasien lanjut usia, pasien bayi dan anak-anak serta masyarakat dengan ekonomi rendah juga perlu diperhatikan terkait keterbatasannya dalam menggunakan teknologi. Isu privasi dan keamanan data juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat belum menggunakan layanan telefarmasi. Informasi pribadi dan status kesehatan pasien yang merupakan informasi vital tentunya memerlukan perlindungan yang ketat. Penyedia layanan telefarmasi perlu memastikan bahwa media dan platform yang digunakan memiliki sistem keamanan yang mampu melindungi informasi pasien dari kebocoran data. Telefarmasi yang memungkinkan pasien melakukan konseling secara daring dengan apoteker juga mengurangi interaksi secara langsung yang mana seringkali diperlukan sebelum mengambil keputusan medis.Â
      Sejatinya, telefarmasi tak dapat dipisahkan dari peran apoteker sendiri sebagai pemberi layanan kefarmasian. Apoteker memegang peran krusial dimana apoteker harus mampu melayani konsultasi dan mengudukasi pasien terhadap keluhan atau masalah kesehatan yang dialaminya, terlepas tak adanya interaksi tatap muka. Dalam kaitannya dengan obat, apoteker harus mampu memberi informasi terkait obat dengan tepat dan jelas. Tak sampai disitu, apoteker juga harus melakukan monitoring terkait kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat serta memastikan tidak ada efek samping yang dapat merugikan pasien. Lebih lanjut, apoteker juga diharap memberikan dukungan moral kepada pasien melalui jarak jauh serta melakukan audit dan evaluasi terhadap layanan telefarmasi yang diberikan guna memastikan pelayanan yang diberikan telah  sesuai standar.
      Sejalan dengan perkembangan teknologi dan dunia medisinal, telefarmasi memiliki prospek yang cerah dimasa yang akan datang. Pembekalan pelatihan dan edukasi kepada apoteker dan tenaga kesehatan terkait telefarmasi harus selalu didorong, guna memberikan pelayanan yang optimal dan sesuai standar. Pembangunan infrastruktur digital seperti layanan internet sangat diperlukan untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah yang belum tersentuh internet. Pemerintah dan perusahaan swasta penyedia layanan telefarmasi diharapkan mampu terus berkolaborasi guna menciptakan layanan kefarmasian yang mampu menjangkau seluruh masyarakat dan menciptakan suatu pemerataan bagi masyarakat dalam memperoleh hak mereka terhadap kesehatan. Dengan upaya-upaya yang dilakukan guna menciptakan layanan telefarmasi yang sesuai standar dan mampu memberi perlindungan kepada pasien, kedepannya telefarmasi akan banyak membantu dunia medisinal dalam mencapai SDGs poin 3 terkait dengan kesehatan yang baik dan kesejahteraan (good health and well-being).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H