Menyendiri adalah sebuah kata ganti untuk menggambarkan kegemaranku. Tidak terkecuali kali ini, apa yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir tak puguh lagu. Naik dan turun elevalator berulang kali, menyusuri setiap lantai dan sudut ruang seperti orang bingung.
Ditengah suasana mall yang cukup ramai, raga ini malah merasakan kesepian. Tentu saja begitu, sebab tidak ada alasan kuat untuk bisa ikut larut dalam riuh yang berlangsung. Satu-satunya yang menjadi temanku bercengkrama hanyalah ponsel yang berada pada genggaman.
Padahal semua barang yang ingin kubeli sudah didapatkan, namun masih saja diri ini tidak ingin pulang sesegera mungkin. Berlama-lama melakukan hal yang tidak penting, begitu caraku mengisi waktu yang kosong. Heran, dewasa kini masih saja senang bermalas-malasan.
Pada rentang waktu tertentu, dimana rasa jenuh berdatangan lebih banyak setiap detik nya. Lamunanku dalam beberapa saat memberi jawaban untuk menangani hal tersebut, kiranya bermain aplikasi kencan buta menjadi kegiatan yang menggiurkan untuk dilakukan.
Seingatku Revan pernah menunjukan cara menggunakan aplikasi tersebut, dikala itu, ketika dosen dengan mata kuliah matematika diskrit tidak dapat hadir dikelas. Ia terlihat sangat terampil, memilah-milih wanita yang sesuai dengan hasratnya. Juga kala itu, Ia mengajarkanku sedikitnya cara untuk menciptakan obrolan yang dapat menarik perhatian wanita.
Sekian menit jari tangan ini terus saja menggulung layar ponsel, target sementara hanya sampai ada seorang wanita yang mau diajak bertukar pesan. Jika sudah mencapai hal tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengajaknya untuk bertemu. Apabila ditolak, maka cari lagi. Namun apabila sebaliknya, maka kami berdua perlu melakukan panggilan video untuk saling memastikan kesungguhan gambar wajah yang digunakan.
Belasan menit telah berlalu sejak awal aku mulai memainkan aplikasi kencan buta ini. Persentase baterai pada ponsel semakin mengecil nilainya, juga kuota internet yang hampir habis digunakan sejauh ini. Ditengah penantianku yang penat, tiba-tiba saja seorang wanita atas nama Ratih mengirimku sebuah pesan, "Hi, dimana? Salam kenal ya, aku ratih." Begitu pesan yang tertera.
Aku segera membalasnya dengan ramah, "Iya, salam kenal juga. Aku Revan, aku lagi di Margo city." Tulisku dengan sentuhan senyum pada raut wajahku.
Tidak perlu waktu lama, pesan balasan dari Ratih muncul dilayar, "It's a nice day, wanna meet up?"
"Wah, to the point banget nih cewek." Gumamku dalam hati ketika melihat isi pesan balasan dari nya.
Aku tidak segera membalas pesan nya, melainkan lebih dulu melihat foto yang digunakan oleh nya sebagai gambar profil. "Cantik, masa iya sih, semudah itu bisa suka sama gua yang biasa-biasa ajah?" Heran mewarnai diri ini ketika melihat wajah profilnya yang begitu cantik.
"Ah, bodo amat! Namanya juga usaha, kalau jodoh kan siapa yang tahu?" Gumamku sekali lagi.
"Tapi video call dulu, yah?" Balas ku untuk Ratih.
Tidak lama setelah pesan itu terkirim, Ratih membalasnya dengan mengirim nomor ponsel yang digunakan nya pada aplikasi Whatsapp. Tanpa membuang-buang waktu, akupun segera menyimpan nomornya, kemudian melakukan panggilan video melalui aplikasi Whatsapp.
Pada detik-detik awal, aku hanya termangu ketika melihat paras cantik wanita itu. Rambutnya yang bergelombang tergerai indah, lalu kiranya sebagian terlihat pirang akibat sorot mentari yang menerpa. Ia duduk dengan mengenakan baju hangat didekat jendela, lalu menekan halus bantal kecil yang berada dipangkuan nya.
Tidak ada banyak kata yang terucapkan selama panggilan video berlangsung, satu hal yang pasti, kami berdua sepakat untuk saling bertemu. Baru saja ingin memberitahu tempat dan waktu untuk bertemu, namun layar ponsel redup seketika. Aku gelisah, merasa tidak enak hati akan janji yang telah dibuat untuk Ratih.
Ditengah pikiranku yang kacau, satu nama tempat makan muncul dalam ingatanku. "Momentum", sebuah nama tempat makan yang menyediakan puluhan lebih stopkontak dan juga akses jaringan internet terbuka. Seingatku lokasinya tidak jauh dari sekitaran sini, jika aku segera bergegas, maka janji yang telah dibuat akan bisa diselamatkan.
Langkahku yang tergesah-gesah pun berhenti, kini aku sudah berada didepan tempat itu. Dari luar saja sudah bisa dilihat desain interiornya yang memiliki nilai estetika tinggi, tidak heran jika pengunjung yang datang cukup ramai. Walaupun begitu, suasana yang berada didalamnya terbilang cukup kondusif dan nyaman. Bangungan yang mengusung konsep kebun dan rumah klasik membuat para pengunjung seolah berada dipekarangan rumah nenek.
Aku langsung menempati meja yang berada didekat jendela. Sambil memilah-milih menu yang hendak dipesan, akupun mengisi kembali daya baterai dan segera mungkin menghubungi Ratih. Pepatah kuno mengatakan, "Sambil menyelam, minum air. " Daripada aku harus repot-repot untuk mencari tempat bertemu, Â mungkin sebaiknya ditempat ini saja.
Pesan singkat telah kukirm padanya, berkata untuk memberitahukan lokasi tempat kami dapat bertemu. Ia pun setuju, sebab katanya tidak jauh pula dari apartment tempat nya tinggal. Setelah nya, hanya perlu menunggu sampai ia tiba disini.
Aku kembali memusatkan diri pada buku menu. Perlahan membolak-balikan halaman untuk mencari makan dan minuman yan sesuai selera. Hingga pada sebuah halaman, tanganku berhenti membalikannya. Makanan sederhana yang biasa kusantap kala itu, mengingatkanku akan hangatnya suasana kebersamaan pada sore hari lalu.
Aku memesan nya dengan porsi dua, juga roti panggang sebagai hidangan ringan yang dapat kumakan kala menunggu sampai Ratih tiba. Beberapa waktu setelahnya pelayan kembali, dengan piawai Ia membawa sebuah teko dan tiga cawan kecil yang terbuat dari keramik tanah liat.
Sungguhku semakin rindu akan suasana rumah nenek. Aroma dari daun teh yang terseduh oleh air panas, begitu harum dirongga dan menambah rasa tenang. Kosong sudah isi cawan pertama, lalu kutuang kembali isi nya secara perlahan. Disaat yang bersamaan kulihat seorang wanita berdiri tepat didepanku, wajahnya membuatku kagum dan diam seribu bahasa, namun sedikit percikan dari air teh yang kutuang membuatku sadar kembali.
"Revan, kan? Sorry ya, jadi bikin lu nunggu." Ucap wanita itu sambil mengulurkan tangannya.
Guratan senyum dibibirnya, khayalku langsung melayang jauh. Retina yang terkena sorot  jingga, lalu samar-samar menutupi refleksi wajah nya yang kulihat dari kaca jendela. Wanita ini yang ingin kutatap kedepannya disetiap sore hariku. Menuangkan perlahan teh untuk kunikmati, sambil sesekali bergurau kala pergelangan lengan ini mendekap tubuhnya.
Mataku mengedip sekejap, lalu dengan senyum sumbringah mempersilahkan Ratih untuk duduk tepat didepanku. Obrolan hangat mempersatukan dua insan yang saling bertatap wajah, waktu perlahan membuat satu sama lain saling mengenal lebih dalam mengenai karakter masing-masing.
 Ia bukan hanya cantik parasnya, namun juga hatinya. Mungkin tidak akan ada habisnya jika aku terus memikirkan alasan tepat Ia memilihku, namun satu hal yang lebih penting, aku hanya perlu menikmati momentum ini dan menjaga agar Ia tidak kecewa akan pilihan yang telah dibuat nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H