Di Liga Indonesia sekarang, ada pemain asing yang tampilannya lumayan memikat. Saking memikatnya, sampai sempat ada wacana untuk menaturalisasi ini pemain, agar masuk Timnas PSSI besutan Coach Shin (Tae Yong). Namanya Taisei Marukawa, asal Jepang, sekarang main di Persebaya. Posisi aslinya sih sayap kanan, tapi bisa juga main di gelandang serang, tempo - lain ‘false nine’, kadang juga jadi striker. Marukawa tipikal pemain Jepang: kerja keras, disiplin posisi, tidak kasar, tidak emosian dan punya fisik prima. Rekor prestasi sampai hari ini, Liga 1 masih belum selesai, termasuk bagus untuk ukuran pemain sayap: 14 gol, 9 ‘assist’. Marukawa adalah salah satu bintang terang di Liga 1 tahun ini. Tidak heran, banyak yang nge-fans Marukawa, supporter cowok maupun yang cewek.
Tetapi yang akan kita bahas sedikit berkembang dari sekadar Marukawa. Tidak sekadar menyangkut sepakbola, sebagaimana pembahasan para pecinta bola tanah air, tetapi juga dapat melebar ke hal lain. Â
Sebabnya adalah meskipun sekarang jadi pemuka di liga kita, Marukawa itu di Jepang, bukan pemain ‘top – rank’. Kita tahu Marukawa pernah merumput di Eropa, tapi itu di Malta dan Latvia. Berbeda dengan nama Jepang macam Takefusa Kubo yang di Mallorca atau Takumi Minamino di Liverpool. Lagipula, Marukawa, menurut catatan, belum pernah bermain di tim nasional Jepang.
Artinya, Marukawa itu sebenarnya cerminan level sepakbola kita yang ketinggalan jauh dari kekuatan dunia, macam Jepang. Ya memang, kalau sepakbola kita dibandingkan dengan Jepang, ibaratnya bumi dengan langit. Padahal Jepang menata ulang sepakbola profesional secara serius, waktu mulainya tidak jauh dengan kita. Jepang punya J - League, 'start' sekitar thn 1993. Kita punya Liga Indonesia, profesional, gabungan Galatama – Perserikatan, 'kick - off'  sekitar 1994/1995.
Tetapi bedanya, Jepang dapat berdisiplin dengan rancangan program pembinaan sepakbolanya, sementara kita kelihatannya tidak. Saat ini Jepang sudah jadi raksasa sepakbola dunia, sementara kita masih rencana. Pemain - pemain Jepang bertebaran bermain di klub - klub elit Eropa. Mereka sejak 1998 sudah langganan tiket main di Piala Dunia. Sedangkan, sepakbola kita seperti jalan di tempat. Boro - boro ke Piala Dunia, lolos ke Piala Asia saja kita masih sering 'sungkan'.
Padahal soal pemain, kita juga punya talenta - talenta bagus. Sejak Kurniawan Dwi Julianto dkk, Bambang Pamungkas dkk sampai sekarang kita punya Eggy Maulana dkk, kita sepakat mereka - mereka itu pantas jadi bintang di kompetisi internasional. Tapi barangkali karena sistem dan struktur sepakbola nasional masih kurang mendukung, kita masih kesulitan untuk misalnya, jadi kampiun di tingkat regional sekalipun.
Yang jadi perkara, keruwetan di lapangan sepakbola kita ini, jangan- jangan, juga terjadi di lapangan - lapangan lain. Semisal lapangan pangan, lapangan pekerjaan, kesehatan, akademik, Â saintek bahkan mungkin saja, juga di lapangan hankam. Makanya sekarang kita jadi pertanyaan, kita ini memang niat dan punya komitmen untuk membangun diri ke tingkat internasional ataukah tidak. Kita tidak perlu saling menyalahkan. Semua berpulang pada niatan, komitmen dan keseriusan kita. Apakah kita siap untuk bersanggup dalam menggeser impian - impian kita di berbagai lapangan itu, dari alam fantasi ke alam kenyataan, hanya kita yang dapat memberi jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H