Politik hampir kehilangan rumah; politik tanpa warga! Politik juga hampir kehilangan arah; politik tanpa keadilan!
PERTAMA
Sebagai sarana untuk mencapai hidup bersama yang baik, wajah politik akhir-akhir ini kian nahas; kehilangan jati diri, kehilangan semangat juang. Kalau saja dia bisa bicara sendiri, politik akan menangis dan minta maaf kepada warga negara karena sebagai instrumen untuk mencapai kemuliaan hidup telah dinodai oleh politisi kelas bulu.Â
Setidaknya politik yang kita bicarakan di sini adalah, di satu sisi, partisipasi warga negara untuk menentukan siapa yang bakal duduk mengisi kursi-kursi pengatur kebijakan. Di sisi lain adalah cara elit memainkan partisipasi warga dalam demokrasi untuk mencapai kekuasaan; dengan tragis kita menyebutnya sebagai "Pesta Demokrasi" melalui sarana Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah.
Sejak awal negara ini dibentuk, kita telah sepakat bahwa kemuliaan dan kebahagiaan warga negara adalah roh dan jiwa Negara. Itu merupakan rasion d'etre. Cara paling sederhana dengan menempatkan partisipasi warga sebagai cara. Partisipasi ini tidak boleh dibalut dengan ketakutan dan ancaman. Jika partisipasi warga tidak lagi ada, atau justru adanya partisipasi warga karena ketakutan dan ancaman, maka politik hari ini kian malang. Yang telah digadai tidak lain alasan pendirian negara!Â
Sayangnya kita menyaksikan politik mengarah ke situ: politik yang dijalani dengan ketakutan dan ancaman; politik tanpa warga betulan! Karena busuknya politik tidak hanya tercium, tapi lebih kentara, dengan sadar para politisi muda membuat satir "politik riang gembira". Maksudnya kita merayakan tragedi politik Enkaeri!Â
Memang betul, dalam Negara Republik, demokrasi partisipatif hanyalah sebuah metode untuk mencapai hidup yang adil, bukan sebagai tujuan dari didirikan negara. Tapi bukan berarti hak warga negara untuk turut andil dalam menjalankan roda negara mesti juga dikorting dan dicemari. Demokrasi partisipatif dan republik bagai dua sisi mata uang yang saling membentuk satu koin yang kokoh dan saling mengandaikan.
KEDUA
Banyak wajah tidak asing yang tampil bertarung lagi dalam Pemilu. Ada juga wajah-wajah baru masih muda-muda, seperti ikan tongkol yang baru dijaring; lompat sana, lompat sini, dan jangan-jangan setelah itu mati!Â
Melihat wajah-wajah baru anak muda ini, sepintas spontan timbul pertanyaan, "Anak siapa ini, yah?" Pertanyaan seperti itu masuk akal mengingat siapa lagi anak muda yang berani mengambil resiko gagal dan bangkrut kalau bukan karena orang tuanya punya jabatan dan kekayaan mentereng? Orang tidak langsung bertanya karir politik anak muda-muda yang tampil itu, tapi langsung buru-buru curiga bekingan kekuasaan dan ekonomi: Pemilu tanpa logistik di negeri ini tidak masuk akal.
Asumsi buruk di atas telah tertanam di dalam ketidaksadaran warga negara hari ini. Tidak hanya kepada anak muda, yang karir politiknya tidak jelas dan tiba-tiba muncul di baliho pun orang-orang langsung akan menaruh curiga, "Kekayaan macam apa yang dia miliki, yah?" Bukankan prasangka ini memberi sinyal bahwa politik kita makin kehilangan arti dan arah?Â
Aristoteles bilang begini, "Keahlian memerintah adalah satu hal, sedangkan memahami kepentingan rakyat adalah hal lain." Dalam politik untuk mencapai hidup yang baik butuh keduanya: keahlian memerintah serta memahami betul apa kepentingan rakyat. Keduanya tidak dipahami hanya dengan membaca sepenggal-sepenggal traktat teori politik atau karir politik orang-orang besar (apalagi dipaksa untuk mempertahankan kekuasaan), namun mesti mengalaminya dari bawah, mengikuti dinamika kemauan rakyat serta arus pasang-surut elite dan kekuasaan. Dan tentunya gagasan politik!Â
Maka jika melihat muka-muka baru di baliho harusnya prasangka yang hadir di benak adalah "Karir politik macam apa yang telah dia lalui, yah?" Politik memang mesti dievaluasi berdasarkan gagasan dan karir politik seseorang, bukan karir titel, daftar aset, atau jabatan, atau siapa bapak-ibu-saudaranya.Â
Saat mereka menang, kita taruh curiga; "Orang-orang baru yang datang antah-berantah kenapa bisa-bisanya memenangkan pertarungan kepentingan warga?"
Meski di antara kita mungkin saja ada yang tahu kenapa mereka memenangkan banyak suara pemilih; dengan menggunakan instrumen kekuasaan orang tuah kah atau kekayaan orang tua kah, atau kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki, kita tidak tahu. Yang pasti kita hanya bisa menduga tanpa bisa membuktikan prasangka itu. Tapi keanehan politik macam ini selalu saja terjadi; kita tahu ada yang salah tapi kita tidak tahu (atau ketakutan) untuk membuktikannya.Â
Cerita Raskolnikov dan Porfiry dalam novel Kejahatan dan Hukuman karya Fyodor Dostoyevsky dalam pembuktian pembunuhan dengan sadis si Lintah Darat, Ivanovna, dan adiknya Lizaveta, menjadi alegori yang bagus bagaimana dugaan yang benar mendahului bukti. Meski Porfiry, si polisi penyelidik, telah yakin bahwa Raskolnikov, tokoh utama novel dan pembunuh Ivanovna dan Lizaveta, adalah pelakunya namun terkendala oleh pembuktian-pembuktian. Porfiry hanya menganalisa kejanggalan situasi, dan berdasarkan itu dia yakin bahwa Raskolnikov bersalah tapi tidak bisa membuktikannya. Pada akhirnya Raskolnikov mengakui sendiri di kepolisian perbuatan pembunuhannya karena tidak ada yang mampu membuktikannya.
Saya pikir sudah banyak yang membahas politik elektoral macam ini. Mulai dari tukar-tambah jabatan, ancaman jabatan, klientelisme, politik patron, politik dagang, transaksional, politik kekerabatan, kolusi, nepotis, dan rupa-rupa politik busuk. Ini telah jadi rahasia umum. Warga awam juga tahu ada yang tidak beres dalam iklim politik kita.Â
Elit penguasa punya daya untuk membuat ancaman kepada warga, atau pejabat pemerintah di bawah kekuasaannya dengan instrumen apa saja. Termasuk ancaman dari dalam institusi. Dulu Althusser menyebutnya "aparatus represif negara" dan "aparatus ideologi negara" sebagai cara untuk memaksakan kepentingan penguasa.Â
Format pertanyaannya begini: Apa betul semua warga yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu karena niatan untuk menitipkan amanat perubahan dan amanat penderitaan rakyat kepada calon pemimpin atau hanya karena terpaksa dan ancaman?Â
Tidak etis kita menyalahkan warga yang terpaksa dan terancam, apalagi dibayar. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula; menjadi korban untuk kedua kalinya. Penguasa yang pantas kita tunjuk hidungnya karena menggunakan politik kebaikan rakyat menjadi politik tipu-muslihat. Politik macam itu tidak pantas dirayakan dengan sebutan "Pesta Demokrasi".Â
"Warga yang menentukan, kalau warga mau memilih maka akan terpilih, kalau tidak maka tidak," kata mereka.Â
Anda tahu peran Cambridge Analytica dan Facebook dalam kemenangan Donald Trump? Bahkan media juga bisa memainkan dan mengarahkan perilaku pemilih, apalagi pemilih pemula. Terlihat pilihan politik berdiri di atas kesadaran, padahal kesadaran memilih telah dimanipulasi melalui media terkenal. Zuboff menyebutnya kapitalisme pengawasan; karena kita telah terhubung, dan bahkan tergantung dengan media sosial, maka kita semua telah terawasi dan mudah untuk dikontrol.Â
KETIGA
Semangat muda bukan satu-satunya jadi modal untuk mengurus kepentingan rakyat. Butuh gagasan dan patah tumbuh pengalaman politik. Sutan Sjahrir, Bung Kecil, lalu lalang dari bawah tanah demi kemerdekaan rakyat, bangsa, dan negara. Terlahir dan besar dari keluarga berkecukupan dan dekat dengan pemerintah Hindia Belanda bukan berarti menjadikan dirinya elit yang berjarak dengan perjuangan rakyat. Sekolah di Belanda, balik kampung berjuang dengan rakyat untuk merdeka, lalu bersama Hatta mendirikan partai Pendidikan Nasional Indonesia (sering disebut PNI Baru atau PNI Pendidikan), lebih radikal dari Soekarno. Pengasingan di Tanah Merah dan Banda Neira bukan petaka: segala tempat adalah arena intelektual. Kaderisasi tetap dilakukan setelah pengasingan di Banda Neira.Â
Tidak hanya sekolah, Sjahrir juga menjalani aktivisme politiknya di Belanda. Ia bergaul dengan kaum anarkis kiri, meski tak lama. Dia pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional, mendapat uang saku dan mengenal isu kaum buruh lebih dekat.Â
Menjadi Perdana Meteri pertama tidak diberikan karena punya privilese, tapi keseriusan mengurus peradaban, patah-tumbuh dalam gerakan massa. Tidak hanya bermodal semangat umur apalagi menempel pada kekuasaan orang tua. Meski diplomasinya ditentang oleh pemikir pejuang lainnya, seperti barisan Tan Malaka, tapi gerakan diplomasinya tetap mesti dihitung beserta kebijakan-kebijakannya. Ia juga sering berselisih pendapat dengan Soekarno, si Bung Besar, yang menjadi tokoh utama Proklamasi.Â
Saya tidak berusaha untuk menebarkan pesimisme (saya juga tidak butuh pesimisme!). Hanya sebentuk distribusi keraguan dan deskripsi tipu-daya dalam politik elit kita: politik tak etis.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI