KETIGA
Semangat muda bukan satu-satunya jadi modal untuk mengurus kepentingan rakyat. Butuh gagasan dan patah tumbuh pengalaman politik. Sutan Sjahrir, Bung Kecil, lalu lalang dari bawah tanah demi kemerdekaan rakyat, bangsa, dan negara. Terlahir dan besar dari keluarga berkecukupan dan dekat dengan pemerintah Hindia Belanda bukan berarti menjadikan dirinya elit yang berjarak dengan perjuangan rakyat. Sekolah di Belanda, balik kampung berjuang dengan rakyat untuk merdeka, lalu bersama Hatta mendirikan partai Pendidikan Nasional Indonesia (sering disebut PNI Baru atau PNI Pendidikan), lebih radikal dari Soekarno. Pengasingan di Tanah Merah dan Banda Neira bukan petaka: segala tempat adalah arena intelektual. Kaderisasi tetap dilakukan setelah pengasingan di Banda Neira.Â
Tidak hanya sekolah, Sjahrir juga menjalani aktivisme politiknya di Belanda. Ia bergaul dengan kaum anarkis kiri, meski tak lama. Dia pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional, mendapat uang saku dan mengenal isu kaum buruh lebih dekat.Â
Menjadi Perdana Meteri pertama tidak diberikan karena punya privilese, tapi keseriusan mengurus peradaban, patah-tumbuh dalam gerakan massa. Tidak hanya bermodal semangat umur apalagi menempel pada kekuasaan orang tua. Meski diplomasinya ditentang oleh pemikir pejuang lainnya, seperti barisan Tan Malaka, tapi gerakan diplomasinya tetap mesti dihitung beserta kebijakan-kebijakannya. Ia juga sering berselisih pendapat dengan Soekarno, si Bung Besar, yang menjadi tokoh utama Proklamasi.Â
Saya tidak berusaha untuk menebarkan pesimisme (saya juga tidak butuh pesimisme!). Hanya sebentuk distribusi keraguan dan deskripsi tipu-daya dalam politik elit kita: politik tak etis.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI