Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktivisme Akar Rumput itu Berusaha Menjadi Tak Dianggap

18 Desember 2023   23:30 Diperbarui: 18 Desember 2023   23:45 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahu saya, dan mungkin pengetahuan saya pendek, aktivisme adalah ikhtiar panjang dengan terus berusaha menceburkan diri menjadi "korban", berbaur lalu hidup bersama rakyat yang sedang mempertaruhkan harapan. Dari situ gagasan dan rasa lahir lalu tertuang dalam bentuk program-program jangka panjang. Penceburan ini tidak lain niatan untuk "perasaan merasa", menjadi bagian dari "suara yang tidak bersuara", belajar mempertahankan dan mengorganisir harapan. Biasanya keadilan terdefinisikan dari situ. 

Pilihan untuk berbaur adalah pilihan "suluk", atau bunuh diri kelas. Tidak perlu dilapor-laporkan ke publik. Kalau ada yang ingin dilaporkan ke publik hanyalah sekadar informasi tahapan masalah. Hanya sampai di situ. Tidak perlu ditambahkan drama kolosal. Jika sudah ada drama-drama, dari sini bibit-bibit tenar.

Jika ada kemegahan dalam aktivisme, terutama mengorganisir rakyat, adalah pilihan untuk tenggelam dalam cerita warga, menjauh dari panggung dan ketenaran, ikhlas beramal. Plus menjadi miskin! Itu sudah konsekuensi alam dari aktivisme. Maka, jika memilih menjadi aktivisme untuk tenar dan uang, sambil berkata "jujur saja jangan membohongi diri" sudah salah sejak awal dalam mendefinisikan apa itu aktivisme di alam pikiran. Ini hanya akan membentuk kecurigaan pada orang-orang yang ingin sungguh-sungguh menempuh jalan curam aktivisme. 

Kenapa mesti bawa-bawa nama warga? Dikarenakan wargalah yang menjadi legitimasi dari aktivisme. 

Tidak ada yang kamu panen dalam gerakan sosial selain susah payah, capek, dan habis anggaran sendiri untuk mondar-mandir menghadiri rapat. Jika ada yang plus-plus hanyalah kebanggaan membendung ego diri menjadi massa yang solid dan penuh tawa, sambil-sambil berbagi derita. Atau memenangkan sengketa harapan warga. 

"Mengorganisir bukanlah 'kerja cari makan'." Tulis Jo Hann Tan dan RoemTopatimasang dalam buku bertajuk Pengorganisiran Rakyat (pengalaman penulis dalam mengorganisir isu akar rumput di Asia Tenggara) yang sebenarnya sungkan untuk mereka tulis dikarenakan keyakinan bahwa mengorganisir rakyat adalah kerja nyata, diam, dan tidak perlu banyak traktat-traktat teori politik.

 "Mengorganisir rakyat bukanlah suatu pekerjaan yang akan membawa keberuntungan kebendaan atau kemasyhuran nama yang akan menjadikan anda seorang pahlawan. Sebaliknya, seorang pengorganisir rakyat baru dapat dianggap berhasil jika sang pahlawan adalah rakyat itu sendiri dan bukannya sang pengorganisir." - Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang

Aktivisme itu tidak butuh orang yang payah dengan pikiran yang keropos dan semangat yang timbul-tenggelam. Yang dihadapi betul-betul realitas material penuh kontradiksi serta tidak karuan. Mengorganisir pikiran sendiri saja teramat sulit, apa pula mengorganisir keragaman pikiran, kepentingan, emosi, serta pendapat warga. Di situ ada pilihan-pilihan yang sulit untuk diambil, diputuskan, dan disistematisasi. Kecuali Anda pintar membuat preambul. Dari situ saja sudah sulit dibayangkan. Sometimes itulah yang membuat gerakan jadi lemah sahwat dan habis tenaga. 

Ekspresi kelas menengah memang kadang-kadang ngehe. Maklum saja mereka ini kelas yang dirugikan rezim, terombang-ambing tanpa sentuhan kebijaksanaan pemerintah. Makanya ada juga kepentingan aneh yang menyelinap di tengah massa rakyat yang sengsara. Anda boleh baca tulisan Geger Riyanto soal Abigail dan kelas menengah serta punggawa relawan aktivis sepuh yang melayang-layang di atas perjuangan warga. Geger menegaskan bahwa "ranah aktivisme, ranah yang dibangun di atas nilai-nilai kesetaraan, dalah ranah yang sarat ketimpangan." 

Saya cerita sedikit mengenai pengalaman rapat bersama Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Utara. Kala itu kami membahas Hari Disabilitas Internasional (HDI) 3 Desember 2023. Kira-kira akan dirayakan dengan cara bagaimana HDI tahun ini. Pertuni memang sementara mengawal Perda Disabilitas Sulut sejak tahun 2022 yang akan diperjuangkan lagi di Peraturan Gubernur. Maka, "dalam rangka Refleksi HDI baiknya kita membuat Aksi Damai di Kantor Gubernur Sulut," kata salah seorang Pengurus Pertuni. Yang lain tidak sependapat dengan Aksi Damai dan lebih memilih jalur diplomasi. 

Saat terjadi perdebatan panjang yang menyebabkan tidak enakan hati satu dengan yang lain, dan berhari-hari ribut pendapat sampai di grup WhatsApp, mereka meminta pendapat kepada saya selaku Mitra Bakti. Di sini dilema muncul karena harus memilih satu pendapat dibanding yang lainnya, kendati saya bilang "dua-duanya bagus dan bisa sekali jalan" tetap saja hanya ada dua pilihan dengan satu yang mesti diambil. Mengambil sikap berarti memilih salah satu, dan secara otomatis disimpulkan memihak kepada salah satu. Akhirnya saya yang tidak enakan. 

Itu hanyalah sepenggal problem yang terjadi dalam rapat-rapat organisasi massa. Apalagi jika pilihan yang diambil menyangkut kepemilikan lahan, status pekerjaan, program-program, UU, dan lain-lain. Kalau mau mendulang emas dan ketenaran, Anda mungkin hanya salah kamar saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun