Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktivisme Akar Rumput itu Berusaha Menjadi Tak Dianggap

18 Desember 2023   23:30 Diperbarui: 18 Desember 2023   23:45 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

"Kami bekerja dalam kegelapan untuk melayani cahaya". Kata Machiavelli yang saya tidak tahu apa betul ini kata-katanya karena hanya didapat dari internet.

Saya tergugah untuk menulis unek-unek ini karena kesemsem saja sama Abigail Limuria. Latar belakangnya begini: di satu waktu si Abigail Limuria menghadiri acara KTT Pemuda ASEAN, seseorang bertanya kepadanya tentang banyaknya pemuda yang fokus di dunia aktivisme tapi akhirnya menyerah di tengah jalan karena kehabisan tenaga. Terus Abigail menjawabnya, kira-kira begini: "Mereka membohongi diri mereka sendiri tentang motivasi (menjadi aktivis). Kadang-kadang itu bukalah motivasi yang murni. Kadang-kadang motivasinya adalah ketenaran, kadang-kadang soal cuan." Karena berbohong mengenai motivasi dalam aktivisme jadinya pupus di tengah jalan, kehabisan tenaga. Makanya, menurutnya, jujuran saja apa niatmu menjadi aktivis gerakan sosial. Meski dia menggunakan kata "sometimes" agar bisa menghindari pukulan. Anda bisa intip di sini videonya. 

Singkatnya, bagi Abigail, tak seharusnya aktivisme dilepaskan dari motivasi uang dan ketenaran. 

Tidak apa bicara begitu. Mungkin ada teman-temannya sesama kelas menengah yang memilih jalan "aktivisme" karena ingin tenar dan uang lalu berhenti di tengah jalan karena memang aktivisme, apalagi mengorganisir rakyat, adalah pekerjaan panjang, sunyi, dan miskin. Tanpa pamrih, tanpa nama, tanpa gold, glory, gospel -- saya ingin fokus ke kaula muda yang baru memulai niatnya di dunia aktivis, atau yang sementara menjalani hari-harinya sebagai aktivis kelompok pendesak, khususnya yang berhubungan dengan pengorganisiran rakyat akar rumput.

Jika ada segelintir kelompok aktivis yang kesibukannya mendulang emas dan kejayaan di tengah kesusahan rakyat, masih ada jutaan orang yang sibuk menjadi diam dalam aktivismenya. Semacam relawan yang rela-relaan. Ada ratusan orang yang memilih tidak disorot dan menguburkan diri di dalam organisasi rakyat sambil-sambil terus berupaya tiap hari mencari jalan yang paling mungkin untuk perubahan. Jikapun disorot dan diramaikan oleh media itu karena media masih peduli dengan hal-hal yang murni dan serius.

Penting untuk sekadar memberi catatan ke Abigail mengingat dia ini sudah dihitung sebagai "publik figur" -- awalnya saya ingin menulis "intelektual publik", tapi diganti saja biar berasa. 

Abigail adalah Co-Founder What is Up, Indonesia? Serta pemrakarsa Bijak Memilih. Saya pernah melihatnya di acara Malaka Project. Mata Nazwa juga ikut-ikut membawa dia di acaranya. Tidak sulit menemukan wajah Abigail di mesin pencarian Google atau video-videonya di YouTube. Banyak pengikutnya, banyak juga yang ingin seperti dirinya: cantik, pintar, kritis, dan hal-hal yang dianggap tidak lazim bagi gadis cantik dan belia ini, utamanya di masyarakat patriarki dan rezim kecantikan. 

Ada banyak teman-teman saya sampai dipukuli polisi, dipersekusi, saat sedang mengorganisir rakyat. Tapi memang layar kamera selalu melihat sisi lain yang bisa dikomersilkan. Begitulah budaya layar, sibuk melayani hasrat dan membentuk tradisi konsumsi.

Tapi apa benar aktivisme itu mesti selalu muncul di televisi atau layar gawai, sibuk pindah dari panggung satu ke panggung lain, dari hotel mewah ke hotel mewah lainnya, dengan kilauan cahaya dan tepuk tangan meriah tanpa harus repot-repot turun ke akar rumput dan berbaur dengan masyarakat yang lagi sengsara dengan hari-harinya karena sulit cari makan? Atau sedang mempertahankan tanahnya? Sometimes bicara sampai berkeringat tidak terlalu lelah dibanding berkeringat di medan pertempuran.

Terus kita tidak boleh bicara, gituh, terhadap masalah warga? Harus! Yang bikin tidak habis pikir adalah pengkerdilan kemewahan aktivisme -- saya mesti tegaskan barang mewah ini! Aktivisme bukan soal bicara banyak atau tidak. Mondar-mandir di WhatsApp Story dan Instastory dengan banyak inventaris kata-kata atau tidak. Yang dipertaruhkan adalah sanggup tidak memikul beban yang sama sampai titik keringat penghabisan bersama orang-orang yang diperjuangkan?

Tidak ada istilah meninggalkan dalam tajuk aktivisme. Jika ada, masalahlah yang meninggal. Atau warga yang meninggalkan pengorganisir. Dan tidak apa-apa. Di tahap tertentu mesti begitu. Jika mau melulu dianggap, jadi saja pacar yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun