Terus, lukisan apa yang ditampilkan? Kenyataan apa adanya. Kenyataan yang tanpa kita berpikir terlalu panjang akan sampai pada kesimpulan yang jelas. Misalnya soal kemiskinan, pembangunan yang tidak merata, birokrasi yang berbelit-belit, atau dalam kacamata modern: situasi "keterbelakangan".
Saya sempat curiga pada alur film ini. Kecurigaan saya, penulis film dan sutradara sengaja ingin tetap mempertahankan apa yang selama ini kita dengar sebagai "orang Timur": kejahatan. Karena, bisa dibilang film ini lebih banyak yang ditampilkan adalah situasi yang tidak "beradab".
Meskipun tokoh yang diangkat adalah perempuan, dengan simbol perlawanan, namun jika masih orang "Timur" tetaplah yang timbul bukan heroisme, melainkan kekejaman yang berlapis: perempuan saja kejam, apalagi laki-lakinya.Â
Bisa saja kesimpulannya begitu. Alih-alih untuk melawan patriarki dengan semangat emansipasi, eh, yang didapat justru lebih banyak tumpukan stigma negatif.
Tapi, saya rasa, tidak sekejam itu. Penulis dan sutradara pasti hanya ingin menampilkan kenyataan apa adanya. Dengan mengumpulkan dan mengangkat cerita-cerita rakyat setempat, seperti keterangan pemeran utama dan sutradara di sini.
Atau katakanlah Marlina adalah perempuan yang berani di antara perempuan yang lainnya karena membunuh kepala geng, Markus (Egi Fedly).Â
Namun keberaniannya itu tetaplah tidak bisa dikatakan "perempuan hebat" karena yang menjadi lawan bukan hanya gerombolan orang jahat yang terlihat, yang tak terlihat juga ada, misalnya mekanisme birokrasi ataupun sistem, saat dia melapor ke kantor polisi, niatnya harus diurungkan.
Marlina bukan terlihat sangar dan disegani, malah dimusuhi oleh orang-orang. Jika laki-laki mungkin sudah banyak pengikut dan membuat geng, namun dia perempuan. Lagian sedikit juga kepala geng seorang perempuan.
Pertama, kondisi kehidupan; apakah persoalan ketidak-merataan ataupun ingin menampilkan sisi kehidupan yang masih "terjaga", itu yang ingin ditunjukan pada pemirsa.
Anda juga bisa menyimpulkan bahwa: orang "Timur" sebenarnya tidak kejam -- seperti stigma yang terus dibangun -- hanya saja itu merupakan cara untuk bertahan hidup. Sekali lagi, kondisi kehidupanlah yang menuntun naluri manusia. Â