"Saya tidak punya cukup uang, Pak." Wajah kecilnya menoleh ke bawah.
Tubuh kecil Ineke telah terbentuk sifat malu. Tak heran dia merasa bersalah kepada Pak Arto. Pak Arto juga hanya menjalankan tugas. Di sisi lain mencari nafkah dari upah tarif bus. "Mafkan saya, Pak. Saya hanya ingin pulang."
"Jarak untuk pulang jalan kaki ke rumah terlalu jauh, Pak."
"Bagaimana, ya, Dik?." Senyum Pak Arto kaku. "Saya juga hanya menjalankan tugas."
"Saya cuma punya sepatu. Meski kusut, tapi warnanya bagus."
"Hehehe... nanti kamu pakai apa, Dik? itu-kan sepatu sekolah?" dengan menoleh ke arah sepatu yang sudah kusam dan terlihat bekas jahitan.
"Saya masih bisa jahit sepatu rusak yang ada di rumah." Ineke berusaha meyakinkan.
Pak Arto hanya tinggal bersama isterinya di rumah. Tidak mempunyai keturunan. "Model sepatunya juga bagus, Dik. Pasti kamu suka?"
"Iya, Pak. Tapi saya harus bayar bus."
"Begini saja, saya juga kebetulan suka dengan sepatu adik. Jika adik bermaksud menukarkannya dengan upah tarif bus, sepatu ini tidak sebanding dengan upah bus."
"Bapak bisa pekerjakan saya. Saya bisa bekerja di dapur."