Menjadi manusia butuh perjuangan, meski sudah jadi manusia.
Seperti biasa, Ineke turun dari bus tepat di depan halaman rumahnya yang kecil nan kumuh. Sebagai pedagang asongan, tidak membuat sekolahnya terganggu. Hampir semua supir bus kenal Ineke; konon bisa menggambar senyumnya yang kecil di atas kemudi. Sebagai anak yatim, terlalu tua untuk aktifitasnya dengan usia sebelas tahun.
Seorang karnet bus bertugas menagih tarif ongkos bus, Pak Arto. Beliau terkenal karena kebaikannya. Tubuh bungkuk, handuk kecil di leher, permukaan kulit yang retak, merupakan ciri-ciri usia yang selalu ingin muda.
Selesai berjualan, Ineke naik bus. Lengkap dengan seragam sekolah merah-putih yang hampir berubah warna. Dan, badan kecil yang memikul beban dagangan.
"Kenapa kamu murung, Dik?" tanya Pak Arto.
"Hari ini hampir tidak ada yang laku, Pak."
"Iya, Dik. Hari ini juga penumpang tidak seperti biasa, bisa dihitung jari." Senyum Pak Arto di ujung keluh.
Senja memberi sinar dari jendela pada dua wajah yang sama harap: berharap besok akan tetap sehat, berharap bahwa Tuhan tidak lagi jadi pendengar yang baik.
"Sudah hampir sampai, Dik."