Mohon tunggu...
Sigit Santoso
Sigit Santoso Mohon Tunggu... Administrasi - Peduli bangsa itu wajib

fair play, suka belajar dan berbagi pengalaman http://fixshine.wordpress.com https://www.facebook.com/coretansigit/

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengapa Propaganda ala Rusia?

4 Februari 2019   23:59 Diperbarui: 5 Februari 2019   00:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat pertama capres-cawapres memang sudah berlalu beberapa minggu yang lalu. Tapi ketakjuban saya bahwa seorang Jokowi bisa membanting serangan Prabowo masih tak hilang. Jokowi punya banyak wajah dan tampil di saat yang tepat. Dia memegang banyak kartu Truf, kalau diserang tidak rasional.

Seperti halnya soal Hoax yang langsung menyambar kasus Ratna Sarumpaet. Atau, yang ketika Jokowi menyerang soal   caleg eks koruptor Gerindra, sebagai ironi karena Prabowo menyebut Indonesia menderita Korupsi Stadium 4. Hasilnya, Prabowo malah "ngelantur" korupsi dinilai dari banyak sedikitnya yang ditilep. Padahal, kalau sedikit cermat pertanyaan Jokowi itu bisa dibalikkan mudah, dengan alasan administratif semisal caleg provinsi saya ga tanda tangan ...  gubrakkk.

Apa hubungannya dengan propaganda Rusia. Cara-cara yang memborbardir para calon pemilih dengan informasi yang salah ini memang bisa mem brain-washing pilihan. Yang penting menang dulu, benar salah urusan belakangan. Hasil pilkada DKI misalnya Pak Anies sendirian ruwet mengurus Jakarta. Dan akhirnya ya tetep gusur dan tidak kompromi terhadap pelanggar ketertiban versi Ahok yang dipakai. Walhasil, ini soal menang kalah saja, dan siapa yang diingat pertama oleh massa pemilihlah yang penting.

Propaganda ala Rusia untuk memenangkan Trump, seperti disebutkan BBC, menyoroti dua laporan penelitian :

  • Pertama, laporan Proyek Propaganda Komputasi Universitas Oxford dan dari perusahaan analisis jejaring sosial Graphika.
  • Kedua, laporan dari lembaga penelitian New Knowledge.

Diinformasi, membuat bingung, atau mengacaukan fakta yang sudah jelas adalah ciri khas. Dan propagandanya menyusup ke seluruh jaringan media sosial Youtube, FB, Instagram, Twitter, bahkan Paypal.

Mengapa disebut Rusia ? Karena hasil dua laporan di atas menengarai ada agen-agen Rusia terlibat. Kalau dibilang cuma gosip, ternyata Mariia Butina seorang agen Rusia yang dilaporkan pernah mencoba mengatur pertemuan rahasia antara Donald Trump dan Presiden Vladimir Putin saat masa kampanye pemilu 2016 benar-benar tertangkap.

Maka jika Jokowi dalam kampanyenya di  deklarasi Forum Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Kota Surabaya, mengeluhkan bahwa,

" ..Problemnya adalah ada tim sukses yang menyiapkan propaganda Rusia! Yang setiap saat mengeluarkan semburan-semburan dusta, semburan hoax, ini yang segera harus diluruskan Bapak-Ibu sebagai intelektual..,"


Jika Menkeu Sri Mulyani yang kepakarannya diakui dunia dilecehkan hanya sebagai menteri pencetak utang, itulah contoh gaya propaganda itu

Jika doa Mbah Maemun, muter saja dipleset-plesetkan doain Prabowo yang bahkan ikut pertemuan pun tidak, itulah contoh gaya propaganda itu.

Atau, jika muncul slogan Prabowo-Sandi didukung ulama, padahal "cuma" ulama-ulama 212, juga ciri gaya propaganda itu.

Meskipun Kedubes Rusia langsung membantah. Dan memang harus dibantah. Tudingan langsung Jokowi itu, jelas membuka kedok, dan pilihannya tinggalkan cara itu lagi atau makin banyak rakyat yang sadar bahwa mereka hanya sekedar obyek yang dibohongi terus menerus.

Berbicara cara tentu tak ada hubungannya dengan Rusia. Karena Christopher Paul dan Miriam Matthews dalam artikel yang berjudul The Rusdian Firehose of Falsehood menyebut metode Rusia itu dalam tema akademis menyoroti kasus-kasus proses politik elektoral serupa di Brazil, Mexico, dan Venezuela.

Lalu berbahayakah ? Ya jelas berbahaya kalau itu memperbodoh masyarakat. Seperti propaganda tiap anak lahir sudah menanggung utang, karena seakan-akan negara tidak bisa membayar hutang. Padahal satu hal penting yang disembunyikan adalah rasio utang terhadap PDB, yang bahkan saking pentingnya ada Undang-Undangnya yaitu Undang-Undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003, dimana rasio utang maksimum yang diperbolehkan hingga 60%. Artinya jika utang kita saja masih di bawah 30% amankah ? Terlebih, berapa PDB kita kalau begitu. US$ 1,02 triliun lho ? Sebegini banyak pendapatannya dibilang rakyat menderita.

Bahwa ada yang masih mengeratkan ikat pinggang itu realita, bahkan seperti di Papua baru kemarin tersentuh jalan dan listrik itu lebih harus diteruskan lagi pembangunannya.  Yang pasti Indonesia, harus di tangan pemimpin yang sudah punya prestasi kerja bukan sekedar pintar mencari retorika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun