Mohon tunggu...
Sigit Santoso
Sigit Santoso Mohon Tunggu... Administrasi - Peduli bangsa itu wajib

fair play, suka belajar dan berbagi pengalaman http://fixshine.wordpress.com https://www.facebook.com/coretansigit/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Film "Hanum & Rangga" Mengapa Harus Tayang Saat Tahun Politik?

12 November 2018   12:47 Diperbarui: 12 November 2018   13:18 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan film pun menjadi korban. Akun Facebook Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) akhirnya mengakhiri polemik soal Ajakan Nonton 'Hanum & Rangga' dengan menghapus postingannya. 

Polemiknya sebenarnya malah bukan tentang isi filmnya sendiri yang dibintangi Rio Dewanto dan Acha Septriasa. Namun karena sosok Hanum Rais. Semenjak dia ikut bermain api di politik ayahnya yang konsisten di kubu Prabowo-Sandi praktis apapun sepak terjangnya akan disorot.Film Hanum & Rangga yang kebetulan tanggal tayangnya berdekatan dengan "A Man Called Ahok" terkena dampak. 

Sesama film Indonesia tapi karena bersinggungan dengan tokoh-tokoh kontroversialnya, menjadikan penerimaan masyarakat kurang fair. Bukan filmnya tapi kehidupan tokoh aslinya di dunia nyata jadi ikut-ikutan di obrak abrik. 

Ahok jelas sudah dipenjara karena kasus penistaan agama yang dituduhkan, belum lagi bercerai dengan istrinya, padahal dulu dia paling depan sebagai tokoh anti korupsi garis keras. Sedangkan Hanum, kontroversinya belum lama ini bukan karena putri dari Amin Rais karena ikut-ikutan menyebar hoax dari kasus Ratna Sarumpaet. Profesionalitasnya, sebagai dokter gigi yang mengkomentari kondisi wajah Ratna Sarumpaet berbuntut panjang.

Penulis sendiri memilih akan menontonnya nanti saja, ketika tahun-tahun politik ini sudah berlalu. Agar bisa mencerna Hanum & Rangga hanya di film saja. Agak mengganggu memang kalau dicampur aduk dengan dunia nyata. 

Karena apapun hasil seni hiburan film, novel, cerpen, dan sejenisnya tak akan lepas dari beautifikasi tokoh-tokohnya. Andaikan film seperti halnya Dilan, bebas-bebas saja karena asalnya juga fiksi walaupun katanya ada tokoh aslinya walaupun misteri. Tapi pada kasus film Dilan public tak mengenal siapa itu Dilan. Sedangkan Hanum dan Ahok adalah tokoh yang dikenal luas.

Sayangnya mereka terkooptasi dalam kepentingan-kepentingan politik yang berbeda, sehingga tak bicara lagi isi film secara fair namun kontroversinya di dunia nyata disambung-sambungkan dengan film. 

Pun promosinya terkesan sepihak. Ajakan Hanum sendiri ke warga Muhammadiyah, sebenarnya juga biasa-biasa saja. Namun karena membawa nama rektor yang punya derajat birokrasi tinggi. Rasanya kok agak janggal kalau bagus mengapa perlu rektor untuk ditindak lanjuti ?

Belum lagi di Malang dikabarkan juga ada mandat dari DPP PAN untuk di-floor-kan ke kader. Seakan-akan "memaksa" untuk membeli tiket nonton bioskop lalu keuntungannya buat siapa ? Apalagi yang mengajak personal yang diceritakan di film ini sendiri, itu lebih mengundang tanda tanya publik. Semacam ada kekhawatiran jika tak nonton. 

Jika itu semacam novel memoar, atau buku putih ... yang menceritakan kisah bersandarkan sudut pandang pelakunya yang subyektif mungkin bisa dimengerti. Namun dari judulnya "Hanum & Rangga" publik akan juga membandingkan dengan "Habibie & Ainun". 

Masalahnya, kisah Hanum & Rangga belum memecah perhatian publik sebelum filmnya sendiri. Dibandingkan dengan Habibie siapa tak kenal Habibie, kehebatan Mr. Crack ini tentu nihil tanpa istri yang tulus luar biasa. 

Maka ketika Ibu Ainun meninggal dunia, kisah cinta mereka punya titik nilai jual seperti halnya Kaisar Mughal Shh Jahn untuk istrinya Mumtaz Mahal yang sampai membangunkan Taj Mahal.

Bisa jadi sih, dalam kebebasan berekspresi latar belakang Hanum sang jurnalis yang berpetualang ke belahan-belahan dunia ini menarik. Bisa jadi Rangga Almahendra sang dosen yang berjuang di bidang mengejar ilmu setinggi langit di Eropa bisa menciptakan titik-titik konflik penceritaan yang menarik. 

Penulis sendiri yang pernah melihat filmnya 99 Cahaya di Langit Eropa, cukup puas dengan genre baru yang ditawarkan karena hiburan juga belajar sejarah. Film tak sekedar hanya soal orang baik vs orang jahat seperti layaknya film-film India hehe ..

Namun, mungkin yang salah "Hanum & Rangga" dipaksakan hadir di tahun politik. Dan Hanum sendiri bukan tokoh netral yang pasti juga setengah mati akan selalu berdiri di belakang Ayahnya. 

Tak masalah sih sebenarnya soal pilihan politik. Seharusnya hikmah yang berserak, harus bisa dipungut dalam kisah apapun. Merekan penonton "A Man Called Ahok" tak perlu membully "Hanum & Rangga" beda genre, beda film beda selera, mengapa harus membandingkan kursi mana yang lebih rame ?

Ngeri sekali, kalau seni dibawa politik lalu diaduk-aduk soal keuntungan bisnisnya.

Karena untuk mendapatkan pesan kebaikan capek sekali kalau harus bertanya dulu "Kamu kubu Jokowi atau Prabowo ?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun