Mohon tunggu...
Fits Radjah
Fits Radjah Mohon Tunggu... profesional -

Keberpihakan saya jelas: menjadi sahabat dan saudara bagi mereka yang termarjinal, papa, mengalami ketidak-adilan. Saya suka membaca, "traveling", ngopi, dan juga nulis (ini kalau lagi "mood"); dan saya suka berteman dengan siapa saja: lintas "SARA" serta tidak peduli akan orientasi sex seseorang. Saling menghormati & jujur, prinsip utama saya dalam berhubungan. Salam Damai dari kota Malang, Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelandangan Terpuji

24 September 2011   07:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#By: Fits Radjah# Hidup menggelandang pastilah bukan 'gaya hidup' yang mudah. Seseorang menggelandang lebih karena “keterpaksaan” ketimbang keinginan yang direncanakan jauh-jauh hari. Menggelandang berarti harus ekstra berjuang demi kehidupannya sendiri, baik untuk sekedar sesuap nasi, seteguk air, maupun sejengkal tempat untuk beristirahat. Bahkan tidak jarang juga harus dilengkapi dengan ketajaman naluri untuk mendeteksi serta kecepatan untuk menghindari diri dari “penertiban” yang mengatas-namakan Keindahan Kota / Wilayah.

Kepemilikan yang hampa kecuali kepemilikan akan dirinya sendiri, menggiring pada “label-label” tidak sedap yang dilekatkan pada gelandangan. Label-label itu menciptakan arus kecurigaan orang lain disetiap keberadaan mereka. Pemalas, Pembohong, Pencuri, Jorok, Gila / Tidak waras, Depresi, adalah sebagian kecil label yang telah ‘akrab’ dilekatkan kepada mereka. Tidak cukup itu saja, reaksi-reaksi semisal: menghindari, membuang muka, memarahi / mengatai, mengusir adalah hal biasa yang sering sekali mereka dapatkan sebagai ‘hadiah’ status ke-gelandangan mereka.

Tapi…., apakah tidak ada sama sekali setitik ‘kebaikan’ dari mereka yang menggelandang? [simak pengalamanku kemarin siang Jumat, 23 September 2011, di kawasan Alun-Alun kota Malang di bawah ini]

Usai menyelesaikan urusanku di kantor Pelayanan Pajak wilayah Malang Selatan di jalan Merdeka Utara kota Malang, mengingat waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12.00 siang, sayapun menawari rekan seperjalanan saya agar dia melaksanakan Sholat Jumat-nya di Masjid Jami Malang yang terletak di jl Merdeka Barat kota Malang. Sambil menunggu, sayapun mengisi waktu saya dengan kembali menikmati suasana Alun-alun Malang. Duduk-duduk santai di bangku beton taman di bawah kerindangan pohon di hari yang terik tentu saja menjadi sebuah ‘kenikmatan’ tersendiri yang patut saya syukuri.

Sayapun membekali diri dengan sebotol kecil air mineral serta koran pagi local. Ditengah keasikan menyimak berita-berita Malang, saya sedikit dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang rupanya ingin juga menyimak halaman Olah Raga dari Koran yang ada di tangan saya; -hmmm rupa-rupanya beliau salah seorang dari pencinta Arema nih-. Kamipun berbagi Koran (ah….., untungnya model Koran saat ini yang terdiri dari beberapa ‘sesi’ dalam setiap terbitannya). Perkenalan ‘ala kadar’nyapun terjadi; ya,kami bertukar nama, tempat tinggal, asal, dari mana dan mau kemana, dan beberapa ‘hal kecil’ yang tidak membuat saya gusar untuk berbagi di tempat umum seperti di Alun-alun ini. Mengetahui ‘Status’ gelandangan sementaranya ini membuat pikiran saya ikut ‘berlari kian-kemari’……

Singkat cerita, ‘kenalan baru’ saya inipun menanyakan apakah saya mengenal dengan orang yang sebelumnya duduk di bangku yang saat itu sedang kami duduki. Tentu saja TIDAK kata saya, karena saat saya mendekati bangku tersebut, bangku dalam keadaan kosong. Atau mungkin mas sedang mencari-cari sesuatu, imbuhnya melanjutkan Tanya penuh penasaran. Menghapus rasa bingung sekaligus penasaran, sayapun mengeluarkan sebatang rokok, sekaligus menawarkan sebatang yang lain buatnya. Kamipun merokok bersama, [besar harapan saya, dengan merokok suasana menjadi lebih “cair”; semoga].

Saya :“Sebenarnya ada apa toh pak?”, saya mencoba mengawali ‘introgasi kecil’ sesopan-sopannya

Pak Arif : “Ohh… nggak ada apa-apa kog mas; Tadi disini di bangku ini saya temukan sebuah kunci mobil beserta gantungannya”, kata pak Arif sambil menyodorkan kunci mobil temuannya itu.

Saya : “Pasti bukan punya saya, pak, karena saya tidak punya mobil”; jawab saya sambil tersenyum. “Coba saja ditunggu, mungkin saja pemiliknya akan datang mencari-cari”, lanjut saya. “Atau, bapak bisa serahkan ke tukang parkir……”.

Pak Arif : “Hmmm ….., mas mau bantu saya nggak?”

Saya : “maksud bapak membantu bagaimana?” [tiba-tiba terlintas kecurigaan jangan-jangan pak Arif ini mencari-cari alasan untuk memperoleh imbalanbelakangan saya menyesali telah terlintas pikiran seperti itu pada pak Arif-].

Pak Arif : “Gini mas, kalau saya sendiri yang menyerahkan kunci ini ke tukang parker, bisa-bisa urusannya jadi panjang mas”. Pak Arif menyambung dengan cerita pengalaman buruknya beberapa waktu yang lalu ketika mengembalikan dompet  seseorang yang juga tertinggal di salah satu pojok Alun-alun.

Saya : ………????!!! diam dan bingung sambil terus menatap pak Arif

Pak Arif : “Niat baik saya yang ‘gembel’ ini, bisa-bisa nanti malah saya balik dituduh sudah mencopet; Hidup yang saya jalani saat ini sudah berat, saya tidak ingin memperberatnya lagi….”

Saya : “masak tukang parkir juga akan men-cap jelek kepada bapak?”. “Kan bapak niatnya baik, ingin menyerahlan kunci yang bapak temukan di bangku ini tadi”, cerocos saya meyakinkan pak Arif.

Pak Arif : “Nggak ada jaminan bahwa nanti akan lancar-lancar saja kalau saya yang mengembalikan”, lanjut pak Arif sambil menghembuskan asap rokoknya. “Yang pasti, akan lain ceritanya jika yang menyerahkan kunci ini adalah mas”. “Sekarang hampir semua orang lebih suka lihat dari penampilan luar orang lain, tidak terkecuali bagi mata tukang parkir, mas”.

Saya : Tercenung……; sudah sebegitu parahkah dunia tempat tinggal saya saat ini sehingga tidak ada lagi tempat untuk berbuat baik bagi mereka yang dilabeli ‘gembel’ tanpa dicurigai? Apakah perbuatan baik itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang berpenampilan rapi, bersih secara fisik saja? Dan akhirnya sayapun menyerah. “Baiklah pak, saya akan menuruti keinginan bapak untuk menyerahkan kunci temuan bapak ini ke tukang parkir. Tapi, kita bersama-sama yang akan melakukannya”, tegas saya.

Pak Arif : “Ntar kalau kenapa-napa dengan saya….?!”

Saya : “Gini lho pak; pak Arif kan sudah berniat baik, dan mereka [siapapun itu] yang cenderung berpikir negative tentang bapak dikarenakan status bapak yg gelandangan ini PERLU dan HARUS mengetahui bahwa ada (juga) gelandangan yang berniat baik dan tulus, yaitu pak Arif sendiri. Nanti saya yang akan menjelaskan ke tukang parkir itu. Saya akan menjamin bahwa tidak akan ada tuduhan negative ke bapak. Gimana….?”

Pak Arif : … lama menimbang-nimbang, dan akhirnya: “Baiklah mas, saya ikuti saran mas ini. Tapi, sekali lagi, saya tidak ingin hal ini menjadi masalah yang berkepanjangan”.

Saya : “Baik dan saya sepakat!”.

Kami berduapun menuju ke area parkir. Usai menjelaskan [sejelas-jelasnya termasuk memperkenalkan pak Arif sebagai sang penemu kunci] ke tukang parkir tentang temuan kunci mobil tersebut, akhirnya kunci tersebutpun berpindah tangan.

Tukang parkir sangat berterima kasih dan berjanji, nanti jika sang pemilik mencari kunci tersebut dia akan menjelaskan kronologis penemuan termasuk siapa yang menemukan kunci tersebut. Kulirik pak Arif disampingku yang menyimak dengan seksama; terpancar kelegaan di mata nya. Usai saling bersalaman dengan tukang parkir, saya dan pak Arif pun kembali ke bangku taman tempat kami mengawali merancang sebuah aksi kebaikan dari seorang yang sering diremehkan karena status dan penampilan luarnya.

Dalam hati sayapun berseru: Tuhan, terima kasih, karena di siang ini KAU telah “mengajarkan” saya bahwa tidak ada jalan buntu untuk berbuat kebaikan. Bahwa selalu ada pintu untuk senantisa berbuat baik walaupun keberadaan diri diremehkan / tidak dianggap karena 'cap serta label' ataupun karena tampilan fisik yang sudah terlanjur melekat / dilekatkan publik. Bahwa, yang terpenting adalah niat untuk berbuat baik, karena balasan atau imbalan atas ketulusan berbuat baik adalah sepenuhnya milik dan berasal dariMU saja; [FCR/240911]

Happy week-end Guys.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun