#By Fits Radjah#Telah menjadi rahasia umum bahwa air yang berasal dari sungai-sungai yang mengalir, utamanya sungai-sungai besar yang ada di pulau Jawa, kini sudah tidak lagi layak sebagai sumber penghidupan. Sungai telah tercemar! Sungai telah berubah fungsi sebagai tempat pembuangan sampah, baik itu sampah cair maupun padat. Kandungan oksigen air sungai mengecil karena tercemar oleh logam berat, bakteri, plastik, dan sebagainya.
Cerita indah sungai sebagai tempat bercengkrama nan mempesona disamping sebagai sumber penghidupan sirna sudah. Sungai telah berubah menjadi sumber musibah. Penyakit diare, kulit gatal-gatal, dan juga banjir menjadi cerita aktual yang selalu mengintai, terutama bagi mereka yang tinggal dan diam disekitar bantaran sungai tersebut. Kondisi kekinian sungai ini bukanlah tanpa sebab. Manusia sangat berperan dalam mengantar ke-TIDAK LAYAK-an air sungai.
Harian Kompas, dalam semingguan terakhir ini melaporkan melalui Ekspedisi Citarum, betapa hampir semua pihak di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah ikut andil dalam pencemaran sungai Citarum.
- Sejak dari hulu, aktivitas pertanian yang tidak melakukan upaya konservasi lahan telah menyebabkan erosi tinggi serta menghanyutkan limbah pestisida yang bermuara ke sungai Citarum.
- Ke hilir, banyak industri Tekstil, Plastik, dan industri-industri lainnya, yang ada disepanjang sungai, juga ikut mencemari dengan telah menjadikan sungai Citarum sebagai IPAL (instalasi pengolahan limbah) nir biaya mereka.
- Demikian juga dengan aktivitas perikanan dengan sistim KJA, secara tidak langsung telah menurunkan kadar oksigen air Citarum dikarenakan sisa pakan serta kotoran ikan telah menyuburkan organisme lain, seperti tumbuhan air (al: enceng gondok).
- Selain itu, kebiasaan peternak Sapi dan Kambing ikut andil mencemari dengan membuang kotoran ternak mereka langsung ke Citarum.
- Dan yang tidak kalah penting bahwa sampah-sampah domestik lainpun yang berasal dari warga (Rumah Tangga) yang tinggal di sekitar sungai Ciliwung semakin memperparah tercemarnya sungai Ciliwung.
Dari realitas yang terungkap di atas, jelas tampak bahwa manusia sangat berperan dalam perubahan habitat serta kualitas air sungai. Sungai dianggap sebagai tempat penampungan / muara bagi seluruh "sampah" yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, siapapun dan apapun itu. Karena itu, sudah sepantasnyalah diperlukan reformasi ekstra untuk merubah "mind-set" di atas. Sembari melihat SUNGAI SEBAGAI SUMBER PENGHIDUPAN, juga perlu menerapkan STOP 'NIMBY".
Aksi penggalakkan Stop "NIMBY" menjadi relevan karena aksi ini terkait dengan cara pikir dan cara memperlakukan sampah. Sudah jamak kita ketahui dan lihat bahwa masing-masing kita berpikir dan mempraktekkan: "ahh... yang penting tempat / halaman rumah saya bersih", tidak peduli apakah hasil dan buangan sampah saya (:pribadi, komunitas, industri) mengotori, mengganggu dan berdampak negatif terhadap tetangga kanan-kiri, depan-belakang rumah saya. Yang penting lingkungan saya bersih; pokoknya " Not In My Back Yard" alias NIMBY!!!. Padahal, sejatinya, kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Bahkan kelangsungan alam raya adalah tanggung-jawab bersama tanpa seorangpun terkecuali.
Karena itu, mari, buang jauh-jauh perilaku NIMBY. Mulailah dari kita pribadi untuk sedapat mungkin dalam setiap aktivitas kita agar hanya menghasilkan sedikit sampah. Cobalah untuk manfaatkan kembali semaksimal mungkin sampah yang kita hasilkan. Kelolalah sampah kita yang tidak termanfaatkan tersebut dengan sistim yang "layak / ramah lingkungan" sebelum sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jangan jadikan sungai sebagai IPAL dan atau TPA gratis. Bahwa habitat sungai (dan DAS) yang berkualitas baik serta terawat, akan berdampak positif terhadap kehidupan dan penghidupan kita sendiri.
Beberapa "langkah" anti "NIMBY" agar sungai tetap menjadi Sumber Penghidupan, terutama bagi mereka yang beraktivitas di DAS, antara lain:
- Mari bersama kita terapkan Pertanian Organik serta pertanian yang menunjang Konservasi Tanah.
- Para pelaku Industri sepanjang DAS, kelolalah terlebih dahulu sampah (cair) anda. Buatlah dan gunakan IPAL (milik sendiri atau kepemilikan bersama dengan industri lain), sehingga limbah cair anda yang terbuang ke sungai sudah pada kadar polutan paling minimum.
- Menerapkan sistim perikanan KJA yang sedikit menghasilkan sampah (sisa pakan dan kotoran ikan) ; membersihkan secara berkala dampak tidak langsung sistim ini dengan memanfaatan tumbuhan (al: enceng gondok) untuk usaha kerajinan tangan, umpamanya, sehingga dapat menekan laju pertumbuhan populasi tanaman air yang berarti meningkatkan kadar oksigen air.
- Menampung dan kemudian mengelola kotoran ternak yang dihasilkan peternakan dengan menjadikannya sebagai "Bio Gas", serta Pupuk Organik, yang bisa dilakukan secara pribadi, atau berkelompok / komunal bagi peternak-peternak kecil.
- Mengelola untuk memanfaatkan (memilah, mendaur ulang, dll) sampah domestik yang dihasilkan Rumah Tangga. Membangun serta mengelola "penampungan tinja komunal", terutama di kawasan padat penduduk. Tumbuhkan sejak dini pada seluuruh anggota keluaraga akan perilaku "Anti NIMBY"; dan bahwa Sungai bukanlah Sumber Bencana dan Malapetaka tetapi Sungai adalah Sumber Penghidupan yang perlu dijaga dan dirawat kelestariannya.
Dengan menggalakkan aksi "Anti NIMBY" dan dengan didukung oleh regulasi yang pembuatan serta pelaksanaannya dikontrol secara ketat dan konsisten oleh seluruh masyarakat, maka upaya menggalakkan kembali air sungai sebagai sumber penghidupan, bukanlah sekedar sebuah "mimpi disiang hari".
AYO, STOP "NIMBY"; MARI JADIKAN KEMBALI SUNGAI SEBAGAI SUMBER PENGHIDUPAN![FCR/040511]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H