Dampak negatif gentrifikasi menyentuh wilayah yang ditinggalkan, yang mungkin mengalami penurunan populasi dan mengalami perubahan identitas perkotaan yang sebelumnya. Sedangkan dampak positif gentrifikasi lebih terasa di kota-kota tujuan, karena adanya populasi baru memberikan dorongan bagi perkembangan ekonomi dengan munculnya berbagai fungsi baru di daerah pinggiran kota.Â
Perlu dicatat bahwa fenomena gentrifikasi ini dapat mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi dari kedua sisi kota yang terlibat, sehingga perlu diperhatikan dengan cermat dalam perencanaan dan implementasi untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.
Menurut mini riset yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta sendiri gentrisifikasi adalah fenomena yang mengancam, yaitu masuknya penduduk kelas menengah ke atas yang meningkatkan harga properti, menyebabkan peningkatan ketimpangan ekonomi dan sosial, dan menyebabkan konflik sosial. Deregulasi pemerintah DIY dalam hal perizinan investasi memperkuat gentrisifikasi dan meningkatkan ketimpangan ekonomi.
Masyarakat DIY juga cenderung memiliki mentalitas yang bahagia meskipun menghadapi masalah ekonomi, disebabkan oleh glorifikasi kultur "nrimo ing pandum". Ini adalah sebuah ajaran yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni. Selain itu, masyarakat Yogyakarta cenderung memiliki rasa hormat dan ketaatan yang tinggi terhadap Sultan.Â
Sultan dianggap sebagai sosok yang selalu mengayomi masyarakat dalam konsep manunggaling kawula gusti yang terbenam secara mendalam dalam pikiran masyarakat, serta minimnya informasi tentang masalah sosial-ekonomi juga menjadi penyebabnya.
Selain itu, estetisasi yang berlebihan juga berpotensi menutupi masalah sosial dan ekonomi yang mendalam di dalam kota. Sering kali, upaya mempercantik kota menjadi prioritas utama, sementara masalah seperti pengangguran, kesenjangan sosial, dan kekurangan perumahan tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Untuk menanggapi dilema-dilema ini, kota-kota perlu memperhatikan pendekatan yang holistik dalam upaya mempercantik. Partisipasi aktif dari warga kota dalam perencanaan dan pengambilan keputusan harus didorong untuk memastikan bahwa nilai-nilai lokal dan identitas budaya tetap terjaga. Selain itu, pemercantikan kota harus diimbangi dengan perhatian pada keberlanjutan dan kesetaraan sosial, sehingga menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua penduduknya.
Dalam pandangan saya, konsep "displaying the city" tak boleh sekadar berfokus dan terpaku pada keindahan estetika semata, tetapi harus mencerminkan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat yang menjadikan kota itu rumah mereka. Sebuah kota yang berhasil menemukan keseimbangan antara daya tarik visual dan kebutuhan sosial akan menjadi tempat yang betul-betul harmonis dan inklusif bagi semua warganya.
Bayangkan kota yang mampu menyatukan nilai-nilai lokal dan menggali identitas budaya dalam setiap langkah proses mempercantik kota. Inilah bentuk pengakuan atas kekayaan warisan budaya dan sejarah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kemajuan kota itu. Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pemercantikan adalah kunci penting untuk memastikan bahwa harapan, kebutuhan, dan keinginan warga kota menjadi inti dari visi perkembangan kota.
Namun, upaya menciptakan kota yang harmonis dan bersaing tak boleh mengabaikan aspek kesetaraan sosial. Upaya mempercantik kota bukan hanya alat untuk menarik wisatawan atau mengangkat nilai properti, melainkan harus memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Menangani isu gentrifikasi dan memastikan bahwa tak ada warga yang terpinggirkan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan komunitas kota.