Namun, yang menjadi kendala terbesar di desa ini, tidak adanya tenaga pengajar agama yang mumpuni dibidangnya, sehingga ajaran agama yang selama ini mereka lakukan meliputi petunjuk sholat, mengaji, bersuci, mereka dapatkan dengan membaca buku. Mereka hanya sekedar tahu dari buku panduan yang mereka baca.Â
Begitupun ketika mereka sholat jum'at, banyak rukun-rukun sholat yang belum mereka penuhi dan tidak ada yang mengingatkan karena memang masyarakat yang melaksanakan sholat jum'at sama-sama tidak mengetahui.
Melihat realita yang terjadi dimasyarakat terkadang lebih sulit dengan yang telah kita ketahui, masyarakat desa Pasucen contohnya, mereka tidak mempunyai generasi muda yang dapat membangun masyarakat religius seperti yang mereka inginkan agar desa mereka tidak lagi disebut abangan, dikarenakan memang tidak adanya fasilitas maupun tenaga pengajar, ataupun kendala ekonomi ketika mereka ingin generasi mudanya belajar di pesantren. Sehingga ada sebagian masyarakat yang mempunyai inisiatif melabelkan produk rumahan desa agar meningkatkan dan dapat membantu meningkatkan ekonomi desa Pasucen.
Maka dari realita tersebut, saya melihat hubungan antara kalangan santri dan abangan akan semakin erat. Mengingat di jaman sekarang banyak masyarakat yang merasa perlu dan menyadari akan pentingnya ilmu agama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang mengirimkan anaknya ke beberapa kota agar mendapatkan pendidikan agama yang baik. Dan juga kalangan santri, seperti di al-Anwar 3 ini.
Mereka memiliki lembaga yang salah satu program belajarnya bersama masyarakat. Sehingga dari sana diharapkan tidak ada lagi istilah kalangan abangan dan kalangan santri secara terkotak-kotak karena pada hakikatnya semua memiliki tujuan dan keinginan yang sama, hanya saja cara pengaplikasian mereka yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H