Mohon tunggu...
Fitriyani
Fitriyani Mohon Tunggu... Guru - Seorang ibu rumah tangga dan guru sekolah dasar

Belajar Bertumbuh dan Berkembang

Selanjutnya

Tutup

Film

"Move to Heaven", Sebuah Ulasan Amatiran

26 Mei 2021   20:31 Diperbarui: 26 Mei 2021   20:32 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Apa yang membuat saya suka membaca cerpen atau novel? Salah satunya karena saya bisa berjumpa dengan beragam karakter,latar belakang budaya dan juga pemikiran. Kata salah seorang guru, semakin bertemu dengan banyak karakter, akan semakin matang jiwa seseorang. Syarat dan ketentuan berlaku tentunya, yaitu kemampuan mengambil hikmah.

Begitu juga menonton film,baik film lepas maupun serial. Sama seperti novel atau cerpen. Kelebihannya dari novel,  saya dibantu secara visual untuk bisa melihat secara nyata. Saya termasuk aliran sufi, suka film. Film mana pun, entah film Indonesia, Hollywood,Bolywood, Iran, Turki, Eropa dan Korea. Asalkan bagus dan bermakna, saya tonton, di sela-sela waktu yang ada. Menjadi semacam hiburan tersendiri, seperti halnya makan bakso atau mi ayam pedas. Menyegarkan,meski menyedot kuota.

Sepekan lalu, setelah membaca review dari salah seorang teman di medsos, saya tertarik menonton film ini. Saya googling di telegram. Ketemu, full 10 episode. Satu episode sekitar 50 menit. Saya rasa cukup ya, tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Pertengahan.

Judulnya Move to Heaven. Move to Heaven ini adalah nama usaha sebuah keluarga. Dijalankan oleh seorang ayah dan anak laki-lakinya yang berusia 20 tahun. Anak laki-laki ini penyandang  sindrom asperger. Di episode pertama, ayah anak laki-laki  ini meninggal dunia. Perannya digantikan oleh adik laki-lakinya yang baru keluar penjara. Seorang petinju jalanan yang kasar, jorok, acuh dan sangat membenci kakaknya karena kesalahpahaman masa lalu. Berbanding terbalik dengan ayahnya yang lembut, dan penuh perhatian.

Bisa dibayangkan bagaimana mereka berinteraksi dari hari ke hari. Dari literatur yang saya baca, sindrom asperger adalah gangguan neurologis atau saraf yang tergolong ke dalam gangguan spektrum autisme.  Asperger memiliki sedikit perbedaan dengan gangguan spektrum autisme lainnya, misalnya gangguan autistik. Pada penderita gangguan autistik, terjadi kemunduran kecerdasan (kognitif) dan penguasaan bahasa. Sedangkan pada penderita sindrom Asperger, mereka cerdas dan mahir dalam bahasa, namun tampak canggung saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Tak dinyana sindrom asperger yang diderita ini sangat membantu dalam menjalankan usaha keluarganya, sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih bermakna.

Usaha yang dijalankan adalah jasa pembersih TKP orang yang meninggal dunia. Ternyata ada usaha seperti itu. Di Indonesia adanya layanan pemulasaran jenazah. Kalau jasa pembersihan TKP belum pernah dengar. Dari kegiatan pembersihan TKP ini, banyak hal yang membuat saya merenung, dan menangis tentunya. Ceritanya mengharu biru dan menghangatkan hati dan menggugah kesadaran.

Hampir sebagian besar yang meninggal adalah mereka yang tinggal sendiri di sebuah kamar/ruang sempit di perkampungan kumuh di sudut-sudut kota. Paling banyak adalah lansia. Ada seorang nenek yang terkena demensia, bolak balik ke bank menarik uang. Rupanya ia ingin membelikan setelan jas buat anaknya. Tidak kesampaian. Anaknya tak pernah menjenguknya. Ia ditemukan sudah membusuk di kamarnya setelah hampir dua pekan meninggal. Lalu sepasang suami istri lansia yang bunuh diri. Menganggap itu sebagai jalan terbaik.Beban hidup sedemikian beratnya. Dipecat dari pekerjaan, terkena kanker, istri sakit menahun. Tidak ada anak atau sanak saudara tempat saling menolong dan bergantung. Tetangga?entahlah. Ada juga anak muda perantau yang menjadi buruh pabrik. Terluka saat kerja. Tapi tak beroleh izin atasannya untuk izin istirahat. Ditemukan meninggal karena lukanya sudah terlanjur infeksi. Berhari-hari kemudian. Perusahaan tidak mau memberi santunan yang semestinya.

Sungguh saya tidak bisa membayangkan betapa individualisnya masyarakat di sana.
Bagaimana mungkin, setelah dua pekan, satu bulan baru ditemukan. Itu juga kadang bukan oleh keluarga, tapi oleh para relawan dinas sosial setempat. Sedemikian pudarkah?

Mungkin tidak semua. Tetapi saat itu diangkat dalam sebuah film, biasanya ia menjadi fenomena. Disuguhkan untuk menggugah.

Setelah saya coba browsing, memang benar fenomena itu ada. Ada kecenderungan masyarakat untuk enggan merawat orang tuanya yang sudah lansia di Korea.  Bagi yang punya uang, bisa dititipkan di panti jompo. Bagi yang punya tunjangan hari tua, para lansia ini bisa hidup mandiri dan berkecukupan. Bagi lansia dari masyarakat menengah ke bawah yang tidak memiliki apa-apa? Depresi dan bunuh diri dari kalangan lansia menempati presentasi yang tinggi.

Berbagai kasus yang ditemui oleh anak laki-laki dan pamannya saat bekerja, lambat laun menjadikan interaksi anak dan paman ini semakin bermakna. Temuan-temuan menyedihkan itu menjadikan mereka menyadari pentingnya sebuah keluarga yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Bukan ikatan transaksional untung rugi. Itu yang akan mengokohkan di tengah gempuran materialiasme yang semakin menguat.

Saya senang, akhir film ini happy ending. Satu-satunya yang tidak saya suka, adalah episode tentang lgbt. Ada pemikiran terselubung untuk menyampaikan ke penonton bahwa lgbt is oke, bukan masalah, tiap orang berhak melakukannya.

Bay the way, selainnya serial drama korea ini bagus buat ditonton. Tak berbelit-belit, realistis dan relevan. Catatannya, jangan berhenti pada menangisnya. Tapi berlanjut pada memaknainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun