Mohon tunggu...
Fitri Wulandari Hermadi
Fitri Wulandari Hermadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Urban and Regional Planning at Diponegoro University | Environmental Urbanism | #YouthCityChanger

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Produk Indonesia dalam Perdagangan Bebas Asia Tenggara 2015 (AFTA 2015) #ISIC 2014

2 Maret 2014   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menakar Produk Indonesia dalam Perdagangan Bebas Asia Tenggara 2015

(AFTA 2015)

PRAKATA


Khawatir, adalah satu kata yang menggambarkan keterlibatan Indonesia dalam kawasan perdagangan bebas AFTA 2015 tahun mendatang. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa alasan, sebab perekonomian Indonesia kini sedang meradang. Meradang karena kondisi pertumbuhan ekonomi yang menurun dari tahun sebelumnya (6,3% tahun 2012 dan 5,8% tahun 2013) diiringi oleh meningkatnya angka kemiskinan (11,47% tahun 2012) dan pengangguran (6,25% pada Agustus 2013) serta kurs rupiah terhadap dolar yang makin melambung tinggi (Rp 11.610,- pada akhir bulan Februari). Dalam kondisi meradang ini, Indonesia harus merevitalisasi semua struktur tubuhnya baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik agar mampu menerjang arus liberalisasi ekonomi global ini dalam kurun waktu 1 tahun.


Arus liberalisasi ekonomi global yang disepakati sebagai persetujuan untuk meningkatkan perekonomian negara ASEAN, sesungguhnya merupakan peluang besar untuk Indonesia mencengkram peluang investasi yang lebih besar melalui jalur perdagangan bebas. Keterlibatan Indonesia dalam kerjasama ekonomi regional negara anggota ASEAN yang terhimpun dalam kawasan perdagangan bebas AFTA 2015 (ASEAN Free Trade Area 2015) memberikan peluang besar untuk meng-go internasional-kan produk Indonesia melalui jalur perdagangan regional. Keterlibatan Indonesia ini dimulai sejak Assosiation of Southeast Asian Nations (ASEAN) kembali mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-4 pada tanggal 27-28 Januari 1992 di Singapura. Pada KTT ke-4 ASEAN tersebut, para anggota ASEAN sepakat untuk memanfaatkan kawasan strategis ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia dalam kawasan perdagangan bebas bagi negara anggota ASEAN. Kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dikenalkan berupa persetujuan untuk meningkatkan perekonomian negara ASEAN melalui kerja sama ekonomi ASEAN (Framework Aggrement on Exchanging ASEAN Economic Coorporation/FAEAEC).


Konferensi yang diprakarsai oleh 6 negara anggota ASEAN Original Signatories of CEPT AFTA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) tersebut tidak hanya melahirkan persetujuan pembentukan AFTA yang belangsung selama 10 tahun (1993-2002), tapi juga membentuk Dewan AFTA yang diperuntukkan untuk mengawasi, mengkoordinasi, dan memberikan penilaian terhadap pelaksanaan Skema Tarif Preferensi Efektif Bersama (Common Effective Preferential Tariff/CEPT) menuju Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). CEPT yang berlaku sejak 1 Januari 1993 merupakan skema untuk mewujudkan AFTA dengan penurunan tarif bea impor 0%-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan non tarif lainnya. CEPT ini akan mengatur rincian tentang cakupan dan mekanisme pelaksanaan AFTA.


DULU (1993-2002), Indonesia saat itu dinilai sebagai pangsa pasar strategis untuk terlibat dalam kawasan perdagangan bebas. Hal tersebut diyakini karena secara geografis maupun demografi, Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan dengan 5 kerabatnya dalam area perdagangan regional tersebut. Barang tentu, keterlibatan Indonesia dalam kawasan perdagangan bebas ini akan membuka keran keuntungan dan potensi investasi besar bukan hanya bagi Indonesia semata, namun juga bagi negara pengekspor komoditas unggulan kerabatnya untuk dapat memperluas area perdagangan dan meningkatkan peluang investasi sehingga produknya ‘laris manis’ dipasaran.


Terlebih Indonesia saat itu sempat mengalami swasembada pangan pada tahun 1980-an, artinya komoditas yang masuk dalam sensitive list ini dapat menjadi benih komoditas potensial untuk disebarkan pada area pasar yang lebih luas dengan keuntungan signifikan bagi negara produsen (Indonesia) maupun negara konsumen (Anggota ASEAN) karena adanya kebijakan penghapusan hambatan tarif dan hambatan non tarif (Skema CEPT) bagi negara-negara anggota ASEAN.


Pertumbuhan ekonomi, pembangunan inrastruktur, dan peningkatan produksi sektor pertanian Indonesia yang kala itu dinilai cukup pesat dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 1993-1996 berkisar antara 7%-8%, kemudian terjun bebas dalam krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998. Krisis ekonomi memutarbalikkan keadaan ekonomi, sosial dan politik Indonesia yang ditandai dengan melemahnya kurs rupiah terhadap dollar dan drastisnya penurunan pendapatan perkapita Indonesia sehingga saat itu sejumlah pabrik dan industri memilih gulung tikar dan pengangguranpun merajalela. Tantangan globalisasi bagi pembangunan ekonomi nasional menjadi sangat berat sejak terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan karena telah menghancurkan landasan atau fundamental ekonomi nasional.


KINI (2003-2014) dan NANTI (AFTA 2015) Bukan mau bersikap pesimis, tapi dengan realitas kondisi perekonomian Indonesia yang masih meradang, keterlibatan Indonesia dalam AFTA 2015 mendatang sangat rentan terhadap manipulasi liberalisasi ekonomi. Sebab, keterlibatan Indonesia dalam AFTA dianggap sebagai tindakan pengkarbitan yang memaksa negara ini dari segi ekonomi, sosial, politik yang masih mengikuti arus globalisasi dunia dan belum mampu menciptakan ekonomi basis negeri. Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris justru jauh-jauh mendatangkan beras dari Vietnam, bawang putih dan gandum dari Thailand, Sapi dari Australia, dan berbagai produk asing dengan kualitas sedikit lebih baik dari produk lokal, namun dengan harga yang relatif lebih murah. Hal ini yang mendorong masyarakat condong menggunakan produk asing ketimbang menggunakan produk yang dihasilkan dari tanah airnya sendiri.


Kekhawatiran ini kian rumit ketika masyarakat Indonesia bukan hanya akan menghadapi AFTA pada tahun 2015, tetapi juga akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA 2015. Pemerintah Indonesia seperti kuda pacu yang harus dipecut untuk bergerak. Minimnya persiapan Indonesia dalam meghadapi AFTA dinilai banyak kalangan masih menjadi beban berat bagi Indonesia untuk terlibat dalam AFTA 2015. Pada AFTA 2015, sistem perdagangan bebas bukan hanya menyangkut aliran bebas barang dan jasa, tetapi juga menyangkut aliran bebas investasi, modal, dan tenaga kerja terampil yang minimal memiliki standar kualifikasi setara dengan negara anggota ASEAN lainnya. Artinya, semua orang dalam kawasan free trade area ini dapat leluasa memasuki bursa kerja Indonesia, begitu juga sebaliknya. Sementara itu, penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai penjenjangan kualifikasi dan komperensi tenaga kerja dengan mempertimbangkan mutu pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja yang seharusnya dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum masuknya Indonesia dalam AFTA dan MEA 2015, justru baru akan dilaksanakan pada tahun 2015 mendatang.


Bagai mengobati penyakit pada stadium 3. Tidak bermaksud berlebihan, namun, ini akan menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan bagi Tenaga Kerja Indonesia, akibat kalah saing dengan Tenaga Kerja Asing. Terlebih Indonesia pada tahun 2020-2030, akan menyongsong Bonus Demografi dimana penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) pada tahun itu akan mencapai 70 persen, sementara 30 persen adalah penduduk non produktif. Hal tersebut merupakan peluang sangat signifikan, bilamana pemerintah mampu mengejar ketertinggalan peningkatan kualifikasi penduduk usia produktif yang akan memasuki bursa kerja regional mendatang. Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pembangunan ekonomi, infrastruktur, peningkatan modal dan investasi terutama peningkatan mutu kualifikasi SDM diharapkan menjadi fokus yang harus diutamakan. Tanpa adanya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,di masa itu Indonesia akan dibanjiri oleh penduduk yang tidak memiliki kualifikasi untuk bersaing dalam zona tenaga kerja bebas dan sempitnya lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia karena kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.


Kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap kesiapan Indonesia menyongsong AFTA 2015 agaknya dijadikan perhatian mendasar bagi pemerintah untuk melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia belum siap menghadapi AFTA 2015, jika tidak ada perbaikan mutu yang memadai. Pemerintah harus mampu menciptakan breakthrough, agar Indonesia tidak tergilas dalam liberalisasi perdagangan ini dan menjadi ‘mangsa empuk’ dalam pencaturan ekonomi global. Secara realita, kemandirian bangsa untuk memproduksi barang dan jasa masih belum mencapai inovasi yang signifikan, ditambah prestasi Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menduduki peringkat 6 dari 10 negara anggota ASEAN yang siap menjadikan Indonesia dalam posisi skak mat. Dan, pendayagunaan produk-produk asing untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier yang masih teramat tinggi sangat bertentangan dengan prinsip ‘cintai produk lokal’ yang sering diorasikan oleh pemerintah.


Sebabnya, pemerintah harus mampu menciptakan breakthrough dalam waktu sesingkat-singkatnya terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Agus Sartono (Guru Besar UGM) tiga kelemahan daya saing Indonesia yaitu innovation (Inovasi), technological readiness (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan research and higher education (Penelitian dan Pendidikan tinggi). Menurut B.J. Habibie untuk menciptakan suatu daya saing produk yang berkualitas sangat tergantung pada penguasaan sang produsen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi yang dimaksudkan bukan hanya terbatas pada alat-alat belaka, tetapi juga sistem kerja. B.J Habibie menggambarkan gagasan teoritis tentang strategi pembangunan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dikembangkan oleh realitas masyarakat Indonesia melalui empat tahap transformasi.


[caption id="attachment_325490" align="aligncenter" width="591" caption="Strategi Pembangunan dengan IPTEK (B.J. Habibie)"][/caption]


Tahap pertama, penggunaan teknologi yang telah ada di dunia untuk proses nilai tambah dalam rangka produksi barang dan jasa yang ada di masyarakat. Pada tahap ini, teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk mengubah barang mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi atau disebut proses nilai tambah. Melalui tahap ini akan dikembangkan kemampuan untuk memahami desain serta teknik dan cara-cara produksi yang lebih maju yang telah dikembangkan di luar negeri. Sampai disini, beberapa tindakan harus diambil, yaitu peningkatan keterampilan produksi, keahlian organisasi dan manajemen. Disamping itu, disiplin dan penerapan standar mutu harus lebih ditingkatkan. Dengan demikian pemeliharaan standar kerja dan standar mutu akan lebih dibiasakan.


Tahap kedua, transformasi teknologi akan berlangsung lebih rumit dan kompleks. Disini akan terjadi integrasi teknologi-teknologi yang telah ada ke dalam desain dan produksi barang dan jasa yang baru sama sekali. Pengembangan keahlian desain dan integrasi secara alamiah akan membawa serta kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, para produsen komponen akan berlomba menawarkan desain produk pada perusahaan yang diketahui sedang melakukan integrasi teknologi. Di dorong kekuatan pasar arus aliran informasi teknologi akan bertambah deras, termasuk informasi mengenai perkembangan-perkembangan baru.


Tahap ketiga, tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Di dalam tahap ini, teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut. Teknologi baru pun diciptakan. Semua itu dilakukan dalam rangka menghadapi perancangan produk-produk masa depan


Tahap keempat, pelaksanaan secara besar-besaran penelitian dasar. Motivasi utama adalah bahwa mereka yang menyelenggarakan tahap ketiga sering kali menemui kekosongan-kekosongan teori yang diperlukan untuk mengembangkan teknologi lebih lanjut (Fachry Ali, 2013).


Fitri Wulandari

Semarang, 02 Maret 2013


Sumber referensi:

Ali, Fachry. 2013. Esai Politik Tentang Habibie: Dari Teknokrasi ke Demokrasi. Jakarta: Mizan

Aspan, Henry. 2011. Kebijakan Pedagangan Luar Negeri Indonesia Dalam Menghadapi Pemberlakuan Kesepakatan AFTA Vol.4 No.2.

Halwani, Hendra. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi (Edisi Kedua). Bogor: Ghalia Indonesia

Paudni. 2013. KKNI dalam penyelerasan dunia kerja dalam http://www.paudni.kemdikbud.go.id/kursus/beritadetil.php?id=280. Diakses pada tanggal 01 Maret 2014.

http://www.antaranews.com/berita/420479/indonesia-harus-pertahankan-bonus-demografi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun