Mohon tunggu...
Fitri Rahayu
Fitri Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Profesi Guru

Fitri lebih suka nulis, dan nyimak apapun yang kalau kata hati udah klop.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kepada Sutradara Film Psikopat, Saya Mau Curhat

29 Januari 2024   10:08 Diperbarui: 29 Januari 2024   10:15 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Tulisan ini adalah opini saya pribadi, perbedaan pendapat sangatlah biasa)

Apa gerangan yang membuat seorang sutradara membuat film bertema penculikan dan psikopat yang jelas-jelas menayangkan adegan-adegan traumatis dan sadis? Biar apa? Nambah-nambah variasi kriminal saja!

Dikutip dari berbagai sumber, sekelas Iko Uwais juga sadar bahwa filmnya memang berbahaya. Iko sampai melarang anak-anaknya menonton film yang dibintanginya dengan alasan belum cukup umur. Menurut saya, sih, seharusnya bukan perkara syarat umur saja. Kalau batasannya umur, para penonton yang nantinya telah mencapai usia bukan Bimbingan Orangtua (BO) lagi, akan menjadikan alasan itu sebagai pembenaran untuk boleh menonton film sadis di kemudian hari. 

Hal yang Bikin Saya Khawatir

Film memang karya cipta seni, dan yang namanya seni itu suka-suka. Suka-suka si pembuat film. Tapi, apa para sutradara film psikopat dan penculikan itu nggak mikir sampai jauh kalau aksi-aksi sadis dan tips n' trick penculikan pada film dapat membuat orang penasaran, dan malah ingin mencobanya sendiri?

Bayangkan jika para penculik di luar sana "mencari inspirasi" dari film, dan menutup semua celah agar korbannya tidak bisa kabur sama sekali. 

Misalnya, para penculik meniru ide untuk mengunci korban dengan pintu berteknologi dengan sandi yang diubah setiap hari, menyuruh korban memakai sepatu hak tinggi agar tidak bisa lari ketika diajak berbelanja ke supermarket (serius, loh, penculik mengajak korbannya belanja ke supermarket, dan ini kisah nyata), menyandera korban di ruang bawah tanah yang kedap suara, menutup mulut korban dengan lem super, memotong telunjuk korban menggunakan tang, sampai mencuci otak korban dengan memintanya menonton film tidak senonoh agar terdorong hasratnya untuk melakukan aktivitas seksual dengan penculik. Apa nggak mikir sampai situ, Bwang?! Untuk alasan itu, saya mengutuk film-film bertema penculikan dan psikopat! 

Film-film Bertema Penculikan dan Psikopat

Beberapa bulan terakhir ini, saya memberanikan diri menonton film thriller gara-gara terpapar sebuah akun Instagram yang fokus mereviu film. Akun itu menayangkan scene kaburnya seorang korban dari cengkeraman penculik. Terlebih lagi ketika banyak komentar netizen yang mengatakan bahwa film itu diadaptasi dari kisah nyata alias ril no fek-fek! 

Sebut saja beberapa film penculikan seperti, 3096 Days (2013), Room (2015), Girl in The Box (2016), I am Elizabeth Smart (2017), Girl in The Basement (2021), dan The Girl Who Escaped (2023). Keenam film itu berdasarkan kisah nyata semua, dan korbannya masih hidup hingga saat ini. Semua film itu menceritakan berbagai kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan penculik terhadap korban! Para korban penculikan adalah perempuan yang masih anak-anak hingga ABG. Lamanya masa penculikan juga macam-macam, dari yang paling sebentar 18 jam hingga paling lama 24 tahun! Gila!  

Adapun film bertema psikopat seperti, House of Wax (2005), The Visit (2015), Split (2016), Door Lock (2018), drama Strangers from Hell (2019), dan Unlocked (2023). Setelah menontonnya, imajinasi saya sekonyong-konyong jadi iseng begitu melihat pisau dapur, dan palu milik bapak di gudang. Absurd! Saya juga jadi cemen kalau ke kamar mandi, dapur, dan kamar tidur. Pernah saya berjalan dengan mode slow mo dengan kepala bergerak sinematik seperti tokoh yang sedang wawas diri terhadap teror. Beberapa kali juga sampai terbangun kalau tidur, dan misuh-misuh di balik selimut. Setakut itu. Fantasi sutradara memang liar, dan gila! 

Plus-Minus Menonton Film Thriller Penculikan dan Psikopat

Pertama-tama, menonton film thriller penculikan dan psikopat memang nggak salah, malah bisa jadi banyak ilmu yang kita dapat untuk self-defense tipis-tipis. Misalnya, untuk diri sendiri, saya jadi tahu modus para penculik, dan opsi-opsi untuk kabur dari cengkeraman mereka. Ada, nih, penculik dengan modus bagi-bagi brosur dengan tampang meyakinkan selayaknya sales yang menawarkan produk. Sat-set. Diembat tuh korban siang-siang di komplek rumah, dimasukin ke mobil tanpa ina-inu.

Motif penculik juga remeh banget cuma gara-gara si korbannya pernah senyum ke dia di sebuah toko, eee malah jadi target! Ini jadi pelajaran banget, sih, meskipun kita memiliki sifat ramah dari lahir, tapi jangan sembarangan senyum juga, karena sesederhana senyum bisa berujung maut. Kalau ilmu dari menonton film psikopat mungkin bisa kita pahami tentang ciri-ciri, dan latar belakang seorang psikopat itu seperti apa termasuk tipu muslihatnya. 

Di sisi lain, sisi negatifnya adalah di dunia ini banyak banget kasus kriminal yang terinspirasi dari film semacam itu. Bikin PR polisi nggak, sih? Misalnya, kasus di Indonesia sendiri yang dilakukan oleh remaja 15 tahun membunuh tetangganya yang berusia 5 tahun dengan cara menenggelamkannya ke kamar mandi, mencekik, dan menyimpannya ke dalam lemari terinspirasi dari film Chucky. 

Di luar negeri, seorang wanita tega membunuh orang tak bersalah hanya gara-gara penasaran akan adegan yang dia tonton di film-film psikopat. Belum lagi kalau kita ingat kasus dari bahayanya tontonan dan game Smackdown, hal itu juga sempat menggemparkan dan merenggut nyawa. Mereka sesungguhnya adalah korban dari "we are what we watch". Mau nunggu berapa korban lagi? 

Dampak Psikologis

Menurut beberapa responden dari sebuah penelitian, adegan negatif merupakan hal yang keren, dan mereka memiliki keinginan untuk melakukan hal yang sama sehingga terkadang membayangkan adegan demi adegan yang dilakukan dalam film. Bahkan, salah satu responden tersebut lebih senang dengan tokoh psikopat. 

Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. Agung Frijanto, Sp. KJ, mengatakan bahwa ada sejumlah kelompok yang memang rentan untuk terkena dampak psikologis akan tontonan slasher, horor, thriller, dan sejenisnya, yaitu kelompok usia balita, anak-anak, dan remaja awal. Selain itu, menurut psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani S.Psi., M.Si., mengatakan bahwa dengan seringnya menonton film bertema sadis dapat membuat anak menoleransi kekerasan. 

Kebayang nggak, sih, kalau kita menonton hal sadis untuk pertama kalinya pasti ngeri, ngilu, takut gimana gitu. Beda lagi kalau jam terbang sudah tinggi, hal itu bisa mulai menoleransi rasa ngeri dan ngilu tersebut. Intinya, sensitivitas terhadap empati perlahan-lahan menurun. 

Beneran, deh, saya kepikiran kalau penonton betul-betul terinspirasi untuk melakukan adegan sadis memangnya para pegiat film itu membantu polisi mengatasi langsung tindakan kriminal di dunia ini? Nggak usah bawa-bawa umur untuk menonton film sejenis itu. 

Ingat, film adalah media komunikasi yang paling berpengaruh (Nur'aeni, 2021) yang memiliki tujuan untuk membina akhlak mulia (UU. No 3 Tahun 2009 tentang Perfilman). Jadi, kepada para sutradara film psikopat, tolong pikir-pikir lagi, please, kalau memang mau membuat film. Dunia ini terlalu ngeri untuk dipenuhi inspirasi-inspirasi film sadis, bengis, dan traumatis. Agus takut, Bu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun