Mohon tunggu...
Fitri Radang
Fitri Radang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Indonesia Pada Masa Kolonial Dan Dampaknya Bagi Pendidikan Dasar

12 Januari 2025   18:48 Diperbarui: 12 Januari 2025   18:57 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BAHASA INDONESIA PADA MASA KOLONIAL DAN DAMPAKNYA BAGI PENDIDIKAN DASAR

Dibuat Oleh : Rizka Nur Afiyah , Maria Fitriana Radang

 Pada masa kolonial, bahasa Indonesia belum sepenuhnya berekembang seperti sekarang. Sebelum kedatangan penjajah Belanda, bahasa Melayu sudah digunakan sebagai lingua franca di berbagai daerah di Nusantara untuk komunikasi antar suku bangsa yang berbeda. Namun, setelah Belanda menguasai Indonesia, bahasa Melayu mulai dipengaruhi oleh bahasa Belanda, terutama dalam bidang administrasi, hukum, dan pendidikan. 

 Secara keseluruhan, masa kolonial memeberikan dampak besar pada sistem pendidikan di Indonesia, dengan bahasa sebagai salah satu faktor utama yang memengaruhi keterbatasan akses pendidikan bagi mayoritas rakyat Indonesia. Setelah kemerdekaan, negara Indonesia berupaya memperbaiki dan meratakan sistem pendidikan, termasuk dengan menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar di seluruh tingkat  pendidikan.

 Kebijakan pendidikan kolonial dan bahasa Melayu, pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda mulai memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan masyarakat pribumi melalui Politik Etis. Bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pengantar disekolah-sekolah rakyat (sekolah dasar) karena sifatnya yang sederhana dan telah digunakan secara luas sebagai bahasa perdagangan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dasar, seperti membaca, menulis, dan berhitung, namun tetap mempertahankan hierarki sosial antara kaum penjajah dan pribumi.

 Latar belakang pendidikan pemerintahan dari tahun 1900-1930. Berawal dari penerapan sistem tanam paksa (1830-1870), yang di kritik oleh banyak orang. Salah satunya adalah Baron Van Hoevell, seorang pendeta yang kemudian menjadi anggota parlemen, yang membela Hindia Belanda dan percaya bahwa pemerintah kolonial harus memperhatikan kepentingan masyarakat pribumi (A Daliman, 2012). Selain itu, politik liberal (1870-1900) menyebabkan kemiskinan melanda Hindia Belanda karena perusahaan bergabung dengan perusahaan asing, menghapus harapan rakyat untuk kesejahteraan.

      Pada awal abad XX, anak-anak bumiputera mulai diizinkan menempuh pendidikan 'modern' Belanda melalui kebijakan politik etis yang diterapkan di Hindia Belanda. Politik etis dilatarbelakangi oleh pengaruh politik Mr. Van Deventer yang mengkritik pemerintah kolonial untuk menaruh perhatian yang lebih luas terkait pendidikan dan pengajaran bagi bumi-putera (Agung & Suparman, 2012, p. 24). 

Berdasarkan penelitian Maftuh, disebutkan bahwa kebijakan politik pendidikan kolonial, mulai dari pendidikan rendah sampai tertinggi tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta mempertahankan kelangsungan kolonial nya (Maftuh, 2009, p. 228).

         Bahasa memberikan kemampuan untuk menyampaikan perasaan, ide, dan bahkan informasi secara lisan atau tulisan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan oleh orang Indonesia karena mereka tinggal di sana. Bahasa Indonesia mempersatukan orang Indonesia (Fadilla et al., 2023). 

            Salah satu alasan mengapa bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa nasional negara Indonesia adalah karena, dibandingkan dengan bahasa daerah lain, jumlah penutur bahasa Melayu tidak lebih besar. Ini karena fakta bahwa bahasa Jawa menjadi bahasa ibu bagi sekitar setengah penduduk Indonesia, sedangkan jumlah penutur bahasa Melayu hanya sekitar sepersepuluh dari total penduduk Indonesia. Karena dikhawatirkan akan dianggap sebagai pen istimewa yang berlebihan, dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki bahasa daerah yang besar sebagai dasar. Faktor kedua adalah bahwa bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia karena bahasa itu sederhana dan membuatnya lebih mudah dipelajari dan dikuasai. Sangat menarik bahwa orang Jawa menerima fakta bahwa bahasa Melayu adalah dasar bagi bahasa Indonesia dengan senang hati, meskipun jumlah orang Jawa jauh lebih besar daripada suku lain. Bahasa Belanda digunakan secara luas dalam pemerintahan dan sekolah selama penjajahan Belanda, dengan tujuan untuk mengontrol budaya kolonial dan memisahkan lapisan sosial. Bahasa Melayu masih digunakan sebagai bahasa percakapan antara penduduk lokal dan pedagang dari berbagai daerah, meskipun bahasa Belanda masih dominan. Dalam situasi seperti ini, bahasa Indonesia mulai menjadi sarana untuk memperjuangkan identitas nasional, yang berujung pada Sumpah Pemuda 1928, yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Menurut Nataly et al. (2024)

           Bahasa Melayu awalnya digunakan sebagai bahasa perdagangan di wilayah Nusantara. Namun, setelah Belanda menjajah Indonesia, bahasa Belanda menjadi bahasa resmi yang digunakan dalam pendidikan dan pemerintahan. Hal ini menyebabkan beberapa dampak pada pendidikan dasar di Indonesia. Pertama, penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan menyebabkan banyak siswa yang tidak bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Kedua, kurikulum pendidikan pada masa itu lebih fokus pada bahasa dan kebudayaan Belanda, sehingga kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Indonesia.

 Pendidikan rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda di Surabaya terdiri dari Sekolah Rendah Eropa atau ELS (Europeesche Lagere School), Sekolah China Belanda atau HCS, dan Sekolah Rendah Eropa atau ELS (Europeesche Lagere School).ELS (Europeesche Lauere School), Sekolah Peralihan (Schalebchool) dan Sekolah Taman Kanak-Kanak (Frobeslsuchool). Pertama, ditujukan untuk anak-anak dari Eropa, Timur Asing, dan tokoh terkemuka. Ada enam ELS di Surahaya. Yang pertama didirikan pada tahun 1831 di daerah Sawahan dengan 42 murid dan tiga guru laki-laki. Yang kedua didirikan di Paneleh pada tahun 1849 dengan empat guru. Yang ketiga didirikan pada tahun 1856 dengan 198 murid. Yang keempat didirikan pada tahun 1859 di kompleks Perkebunan Laut (sekarang PT. PAL) dengan 20 murid dan 2 guru laki-laki. Pada tahun 1864, ELS kelima didirikan di Gedang Jongen Weezent Inritchting di Wezenstraat (sekarung Jl. Kebalen). Ada 197 siswa dan 4 guru (G. H. Von) .

 Kedua,HSC,sekolah Hollandsch Chineesche School pertama kali dibuka di surabaya pada tanggal 5 November 1903 oleh perkumpulan Ho Tjiong Hak Kwan, yang mendirikan sekolah dasar di daerah Keputran (pemukiman Etnis Tionghoa). Sekolah dasar ini terdiri dari 142 murid dan 6 guru (Ong Hing Aan, 1903), dan bahasa yang diajarkan adalah Bahasa Kuo Yu (bahasa nasional Tiongkok), yang digunakan sebagai bahasa poda di daerah Kre.

 Ketiga, Di Surabaya, ada Hollandsch Inlandsche School (HIS) negeri dan HIS bersubsidi. HIS negeri didirikan pada tahun 1914 dan memberikan pendidikan 7 tahun dengan pengantar Bahasa Belanda. Karena pada awalnya didirikan untuk orang-orang ele saja Keempat, HIS merupakan cara penting untuk meningkatkan status sosial orang-orang pribumi.

 Pada abad ke19 didirikan sekolah kelas II (ongko loro) pengajaran di dalamnya lebih sederhana dari pada kelas I (ongko siji) yang mengembangkan skill basic antara lain: membaca,menulis, berhitung, dan bahasa daerah atau bahasa Indonesia (Sutimin & Suparman, 2012:

22; Penders, 1968: 28). Juga tidak mudah untuk membenarkan upaya untuk mengurangi fasilitas pendidikan, terutama karena iklim pendapat internasional lebih menyukai penyebaran ide dan pendidikan dengan alasan moral dan sosial dan kekuatan kolonial mulai menilai satu sama lain dengan jumlah pendidikan yang mereka berikan untuk rakyatnya. Pemerintah Hindia, juga prihatin untuk menyediakan tenaga kerja yang patuh dengan setidaknya sejumlah pelatihan, dan khususnya pekerja klerikal murah untuk pangkat yang lebih rendah dari pegawai negeri 

sipil yang luas, memperluas dan semakin kompleks, dan perkebunannya sendiri, dan perkebunan dan tambang dengan teknologi yang semakin modern (Rifa'i, 2011; Geschiere, 1973; Suratminto, 2013).

 Pemerintah kolonial Belanda didirikan pada awal abad ke-20.menggunakan Politik Etis untuk memprioritaskan pendidikan asli. Bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar karena bahasa perdagangan yang mudah dan umum. Bahasa Belanda digunakan di sekolah-sekolah untuk orang Eropa dan pribumi kelas atas, menunjukkan hierarki sosial yang masih ada antara penjajah dan rakyat biasa. Sekolah-sekolah di Surabaya, seperti ELS, HCS, HIS, dan Sekolah Peralihan, menawarkan berbagai sistem pendidikan untuk berbagai kelompok etnis, dengan kurikulum yang menekankan bahasa dan kebudayaan Belanda. Meskipun demikian, akses ke sekolah-sekolah yang lebih tinggi dimungkinkan oleh pendidikan ini bagi sebagian penduduk asli untuk meningkatkan derajat sosial mereka. Bahasa Indonesia digunakan secara terbatas sebagai bahasa administratif oleh penjajah Belanda selama periode kolonial, dan pendidikan bahasa ini tidak merata di seluruh masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun