Mohon tunggu...
Fitri Nadiyatur Rizkiyati
Fitri Nadiyatur Rizkiyati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan Luka Masa Kecil

28 November 2024   14:03 Diperbarui: 28 November 2024   14:07 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seseorang yang tumbuh dengan banyak luka yang sulit kuungkapkan. Sejak kecil, aku sering merasa berbeda. Lingkungan sekitarku, bahkan keluarga, kerap membandingkanku dengan orang lain—baik dari kecerdasan, penampilan, hingga hal yang tidak bisa kuubah, seperti warna kulitku yang lebih gelap. Awalnya, aku tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kata-kata kasar, hinaan, dan perbandingan itu tidak langsung terasa seperti serangan, tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang selalu terasa sakit setiap kali mengalaminya.

Aku ingat bagaimana sepupu-sepupuku sering dipuji karena mereka dianggap lebih pintar atau lebih cantik. Sementara itu, aku hanya diam, menerima komentar-komentar yang membuatku merasa kecil. Saat itu, aku tidak tahu bahwa semua ini perlahan-lahan membentuk diriku menjadi seseorang yang tertutup, penuh ketakutan untuk memulai sesuatu yang baru, dan lebih nyaman bersembunyi dalam dunia kecilku sendiri.

Ketika akhirnya aku dewasa, aku mulai menyadari betapa besar dampak perlakuan itu pada diriku. Aku menjadi pribadi yang sulit membuka diri, merasa tidak cukup baik, dan terlalu sering meragukan diriku sendiri. Hal ini bukan sepenuhnya salah orang tua, meskipun mereka juga tidak selalu bisa melindungiku. Namun, banyak dari luka ini datang dari cara orang-orang di sekitarku memperlakukan dan memandangku.

Aku tahu luka masa kecil ini masih ada di dalam diriku—aku menyebutnya "inner child". Bagian diriku yang terluka ini sering muncul, mengingatkanku pada semua rasa sakit itu, membuatku ragu untuk bergerak maju. Aku tahu aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan siapa pun atas apa yang telah terjadi, tetapi aku juga sadar betapa beratnya melepaskan rasa sakit itu.

Hingga saat ini, aku terus berjuang. Aku mencoba menerima diriku apa adanya, meski perjalanan ini tidak mudah. Aku belajar untuk tidak membandingkan diriku dengan orang lain lagi, dan aku berharap suatu hari aku bisa benar-benar berdamai dengan masa lalu dan diriku sendiri.

Pesan moral

Anak yang tertutup dan takut memulai bukanlah anak yang "kurang". Mereka hanya butuh waktu, bimbingan, dan dukungan untuk menemukan keberanian mereka. Dengan pendekatan yang sabar dan penuh kasih, kita dapat membantu mereka membuka diri, mengatasi ketakutan, dan menjadi pribadi yang percaya diri. Ingat, setiap langkah kecil adalah pencapaian besar bagi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun