Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2012, Pasal 35 ayat 3 disebutkan bahwa mata kuliah agama merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diberikan kepada mahasiswa perguruan tinggi sesuai jenjang pendidikan. Pengwajiban mata kuliah ini bertujuan untuk membentuk kepribadian mahasiswa agar menjadi individu yang bisa mengimplementasikan ilmu bukan hanya sekedar pengetahuan semata, tapi harus dibarengi dengan moral, akidah dan ibadah. Sebagaimana pepatah Albert Enstein mengatakan, “Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.” Pepatah ini mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara ilmu dan agama, baik ketika menempuh pendidikan maupun saat pengimplementasiannya. Ilmu dan agama ini ibaratkan jantung dan otak, keduanya memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi dan mendukung satu sama lain dalam menjalankan fungsi lainnya.
Amanat yang disampaikan di atas memang lah benar. Pengalaman dan kesan yang saya rasakan setelah menempuh mata kuliah AIK (Kemanusiaan dan Keimanan; Ibadah, Akhlak dan Muamalah; Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan) di Universitas Aisyiyah Yogyakarta telah membuka beberapa pandangan baru tentang kehidupan. Mata kuliah AIK mengajarkan betapa pentingnya seorang mahasiwa memiliki akidah yang kuat sebagai pengendali hidup seorang muslim. Akidah ini akan selalu mengarahkan seorang muslim kepada kebaikan dan akhir yang baik, meskipun keadaan selalu menuntut kepada keburukan, sebagaimana pohon yang berakar kuat akan tetap berdiri kokoh meskipun diterpa angin kencang dari segala arah.
Poin lain refleksi setelah menempuh mata kuliah AIK ialah pentingnya berakhlak dan beradab dalam berilmu, begitupun sebaliknya. Akhlak dan adab memiliki posisi yang sangat penting setelah akidah. Ilmu tanpa akhlak yang baik akan menjadikan seseorang menjadi sombong. Ilmu tanpa adab seperti deretan angka tanpa nilai, sebesar apapun angkanya jika dikalikan dengan nol hasilnya akan tetap nol.
Pepatah lain mengatakan, “Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa kayu bakar. Adab tanpa ilmu laksana roh tanpa jasad.” [Atsar Riwayat Al-Khathib Al-Baghdadiy dalam Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi (1/80)]. Hal ini menunjukan pentingnya beradab dan berakhlak dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik ketika menempuh ilmu maupun dalam mengamalkan ilmu. Adab dalam menempuh ilmu menjadi sebab berkahnya ilmu, adab dalam mengamalkan ilmu akan menjadi sebab dicintai Allah dan makhluk-Nya.
Selain itu, ada satu kalimat yang pernah disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang buat saya kagum, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhamamdiyah.” Sekilas dari kalimat di atas kita bisa memahami bahwa perlunya keterlibatan aspek ukhrawi dalam beraktivitas. Maksudnya ialah dalam beraktivitas, selain mencari keuntungan untuk memenuhi kebutuhan duniawi, kita juga jangan lupa untuk meniatkan apa yang kita usahakan dan upayakan semata-mata mencari ridho Allah SWT, menjalankan semua aktivitas dengan penuh ketulusan, keikhlasan, kesungguhan serta berorientasi untuk mencapai kemanfaatan seluruh umat. Yang buat saya kagum ialah dengan satu kalimat yang padat bisa menjabarkan arti yang sangat luas dan mendalam.
Meskipun bukan berlatar belakang dari keluarga Muhammadiyah, banyak nilai penting yang saya dapatkan setelah mengenal Muhammadiyah di kampus Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Dari berbagai nilai penting tersebut, satu nilai utama yang saya jadikan poin penting tentang Muhammadiyah yaitu tentang jiwa Al-Ma’un yang dijadikan sebagai gerakan aksi nyata dalam pengamalan nilai-nilai Islam, kebersamaan dan berkemajuan.
Dalam pidato di milad Muhammadiyah ke-109, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. menyampaikan ada delapan nilai utama yang harus dijadikan pegangan warga Muhammadiyah dalam berpandangan dan bersikap. Delapan nilai utama tersebut ialah nilai tauhid prokemanusiaan (al-qiyam al-tauhid li al-insanī), nilai pemuliaan manusia (alqiyam al-takrim al-insanī), nilai persaudaraan dan kebersamaan (al-qiyam al-ukhuwwah wa al-jamā‘iyyah), nilai kasih sayang (al-qiyam al-tarāhum), nilai tengahan (al-qiyam alwasaṭiyyah), nilai kesungguhan berikhtiar (al-qiyam al-mujāhadah), nilai keilmuan (alqiyam al-‘ilmiyyah), serta nilai kemajuan (al-qiyam al-ḥadāriyyah). Harapannya dari nilai-nilai utama yang disampaikan oleh Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si. di atas, secara perlahan saya bisa mulai belajar dan terus belajar untuk saling menghargai perbedaan, membangun dan menjaga kebersamaan dalam mencapai suatu hal, saling tolong menolong antar sesama, dan menyukseskan tugas, kewajiban dan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa Aisyiyah untuk belajar dengan sunguh-sungguh dan menempuh pendidikan sampai akhir dengan hasil yang maksimal.
Tentunya, nilai-nilai Muhammadiyah ini perlu disebarluaskan dan ditularkan kepada seluruh masyarakat dunia supaya mereka bisa memahami dan ikut merasakan hal-hal positif dari Muhammadiyah, sehingga pandangan, pemikiran, serta perilaku masyarakat bisa melahirkan kebermanfaatan bagi masyarakat sebagaimana yang dicerminkan oleh nilai-nilai Muhammadiyah. Melalui menulis inilah merupakan langkah dan ikhtiar mula saya membawa Muhammadiyah ke tingkat Internasional. Sebagaimana quotes yang disampaikan kak Armin Martajasa, “Jika kamu ingin mengenal dunia, membacalah. Jika kamu ingin dikenal dunia, menulislah.” dan quotes yang disampaikan kak Pramoedya Ananta Toer, “Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Semoga tulisan ini bisa memotivasi pembaca untuk terus memperbaiki diri, tujuan dan prinsip hidup untuk mencapai ridho Allah SWT.
Terima kasih
#Milad109Muhammadiyah
#BanggaMuhammadiyah