“Kita harus melawan lapar,” kataku pada Cileni dengan mantap. “Kau dan aku akan mengalahkan rasa lapar. Kita harus setabah batu karang.” Kutancapkan keteguhan itu dalam sanubari Cileni seperti sebuah pancang. Ia harus setegar diriku. Bila tidak, maka ia akan penuh keluh seperti ibuku.
Cilesi, demikian ibu menamakanku. Dari sekian banyak nama yang bisa dipilih untuk anak perempuan, ibu memilih nama itu. Sosok dan rupaku membuat orang-orang sering menatapku dengan rasa iba.
Selama bersekolah, membaca dan menulis adalah hal yang sulit untuk kupelajari. Tinggal kelas hampir menjadi rutinitas yang kualami setiap kenaikan tiba. Sementara aku harus mengalami segala kemalangan itu, ibu hanya bisa mengelus dada dan berkata, “Sudah nasibku.”
Untung saja, aku sempat mencicipi bangku sekolah menengah atas. Kala itu tubuhku yang lebih bongsor dari anak-anak lain menegaskan kenyataan bahwa usiaku memang terpaut beberapa tahun dari mereka. Walaupun hal itu kerap menjadi bahan ejekan, tetapi aku sudah terbiasa menerimanya tanpa kata-kata.
Tak ada yang tahu siapa ayahku. Kerabat, tetangga, guru, hingga orangtua dari teman-teman sekolahku tidak mengenal lelaki itu. Setiap kali aku menanyakan hal itu pada ibuku, ia hanya menggeleng lesu dan lagi-lagi berkata, “Sudah nasibku.”
Hingga suatu hari, ibu mengatakan sebuah rahasia besar padaku. “Ayahmu kaya raya, tetapi ia meninggalkan kita.”
Kupandangi rupa ibu penuh keraguan, pada rambutnya yang memutih, separuh giginya yang telah tanggal, dan tonjolan di kedua pipinya, sambil membayangkan kemungkinan seorang laki-laki kaya raya pernah menyukai ibuku di masa lalu. Tubuh ibu melengkung seperti busur ketika ia menyandarkan sebelah lengannya ke bingkai jendela. Aku benar-benar yakin, ibuku sedang membual.
“Mengapa ibu bohong?” tanyaku kesal.
Bola mata ibu membesar. “Bohong? Kau pikir ibu bohong?”