Gadis di hadapanku menyimak perkataanku. Cantik. Sepasang mata berbinar. Mengingatkanku pada paras Sumija, sebelum bencana datang merenggut kebahagiaannya.
"Kau mirip dengannya."
"Berarti... aku bukan putri Mama?" Gadis di hadapanku mengerling  manja.
"Nakal! Kalau bukan putriku, dari mana sifat keras kepalamu itu berasal?"
Kami tertawa berderai.
"Mama tak pernah melupakannya. Tak sedetik pun dalam hidup Mama."
"Persahabatan yang indah," gumam putriku.
"Kelak, kau akan menemukan sahabat seperti itu. Sahabat yang menginspirasimu."
"Semoga, Ma."
Kami berjalan beriringan di halaman sebuah bangunan memanjang. Anak-anak bermain dengan gembira. Beberapa di antara mereka menggunakan kursi roda. Ada pula yang bercakap-cakap dengan bahasa isyarat. Mereka tampak begitu gembira menghabiskan waktu bersama. Mereka semua anak-anak korban bencana.
"Sayang sekali, dia  melihat semua ini hanya sebentar."