Sumija menatap sendu pada bunga-bunga terompet di halaman. Ia baru menceritakan kisah yang membuatku mengerti, kehilangan yang pernah kurasakan tak sepahit kehilangan miliknya. Sumija, perempuan yang dulu jelita itu, kini parasnya tampak menua. Bukan karena dirampas usia, melainkan karena kepahitan.
"Tak ada yang tahu kapan. Seperti pencuri, bencana datang mencuri orang yang kukasihi," cerita Sumija. Ia memilin-milin ujung kainnya yang usang. Angin sore menerbangkan anak rambutnya di dahi. Matanya menatap lurus pada sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di halaman depan rumah Mbah Tukinah, neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Kusentuh bahunya dengan hati pilu.
"Orangtua dan calon suamiku." Air mata Sumija tumpah. "Bencana itu merampas segalanya dariku." Ia mulai terisak.Â
Sesak dalam dadaku menggumpal. Aku menahannya karena tak ingin menambah kepedihan hati Sumija. Kutepuk-tepuk pelan punggungnya. Derita Sumija sungguh tak tertahankan. Ia bahkan kehilangan satu kaki dalam bencana longsor yang terjadi sebulan yang lalu.
"Seharusnya, aku ikut mati," ratap Sumija.
"Jangan berkata begitu," bisikku di telinganya. "Kau ditakdirkan hidup. Mungkin untuk berbuat sesuatu. Kita tak pernah tahu, apa yang akan terjadi esok hari," kataku membesarkan hatinya. "Tegarlah. Kau Sumija. Kembang desa ini. Kau kuat seperti kayu."
"Semoga aku bisa..."
Kurengkuh tubuh karibku. Ia menangis lama. Sumija, gadis yang ketegarannya dulu membuatku kagum, kini bagai seonggok ranting tua dalam dekapanku. Kabar buruk tentang dirinya telah membuatku bergegas pulang ke kampung halaman. Demi bertemu dirinya.
***
"Dia gadis yang cantik. Sahabat karibku. Sayang sekali, bencana membuatnya selalu murung."