Sejak lama aku menyadari sesuatu. Iblis bertahta dalam diriku. Hampir separuh usiaku, iblis mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupku. Kadang-kadang, ia menghasutku. Jika kau berpikir bahwa iblis senantisa kejam, mungkin kau keliru. Karena akulah yang tak bisa hidup tanpa dirinya. Aku membutuhkan kehadirannya. Alasan itulah yang membuatku mengundang iblis dalam kehidupanku. Itu berarti, hadirnya iblis semata-mata adalah untuk memenuhi undanganku.
Tiga ratus enam puluh hari telah berlalu. Ini bulan pertama tahun ini. Tahun lalu adalah tahun penuh kemalangan bagiku. Kakak laki-lakiku meninggal dunia. Belum lagi pupus kesedihan di hatiku, istri kakak tertuaku minggat dari rumah. Entah apa alasannya. Yang kuingat hanyalah, perempuan itu suka sekali berbincang seharian di telepon.Â
Mungkin baginya, orang-orang di sekelilingnya sangat membosankan, sehingga lebih nyaman baginya untuk bicara dengan orang-orang yang jauh darinya. Aku tak pernah benar-benar memahaminya, hingga ia tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata permisi.
Orang yang paling bersedih di dunia adalah ibuku. Aku menyimpulkan demikian saat menyadari tubuh ibu kian kurus dari hari ke hari. Kemuramannya menghadirkan mendung dalam keluarga kami. Ibu menangis. Tadi, aku melihat ibu menangis. Hei, kau lihat tidak ibu sedang menangis di kamar? Kalimat-kalimat seperti itu berbalasan di antara kami berempat hampir setiap hari.Â
Lama-kelamaan, melihat ibu menangis menjadi rutinitas yang tak dapat dihindari. Mungkin ibu harus menangis agar hatinya lega. Meski kelegaan itu tampaknya tak kunjung tiba. Ibu masih saja menangis hingga malam tahun baru tiba. Aku dan ketiga kakakku hanya bisa menyaksikan air mata terus menggenang di pelupuk mata ibu tanpa mampu melakukan apa-apa.
Menyaksikan semua kepiluan itu membuatku hatiku gundah. Padahal, aku telah memutuskan untuk tidak mengundang iblis di malam tahun baru. Sesekali, aku ingin memiliki hidupku sendiri tanpa kehadiran iblis. Ternyata, mewujudkan keinginan tidaklah semudah itu.
"Jadi, kau mengundangku?" Iblis menyeringai padaku. "Bukankah sebelumnya kau tak menginginkan kehadiranku malam ini?"
"Jangan mengejekku."
"Lantas, kau mau aku bagaimana?"
"Aku sudah tak tahan melihat tangis ibu."
"Ibumu menangisi nasib anak-anaknya. Hal yang harus dilakukan seorang ibu."
"Kau berkata seolah-olah kau mengerti arti kasih."
Iblis tertawa keras. Membahana. Langit-langit rumah tampak bergetar.
"Inilah hal yang kusuka darimu. Kau sangat berterus terang."
Aku berpura-pura tak mengacuhkan kata-kata iblis. Mataku terpaku pada ibu yang masih saja menangis. Tiga kakak laki-lakiku duduk mematung di sekitar ibu. Mereka tahu, tak ada kata-kata yang bisa menghibur ibu pada malam tahun baru kali ini. Kami berempat, anak-anak ibu, benar-benar tidak berguna dalam situasi ini.
"Kau ingin balas dendam pada mereka?" pancing iblis.
"Aku tidak tahu caranya." Sepasang tanganku mengepal, mengingat kelakuan istri almarhum kakakku yang melanggar wasiat suaminya. Ia juga melukai hati ibuku dengan kata-kata dan sikapnya. Terkutuk.
"Tidak dengan salah satu pun dari mereka?" goda iblis.
"Seandainya aku bisa," kataku getir sambil mengenang kepergian istri kakak laki-laki tertuaku. Perempuan itu tak lebih dari benalu yang menumpang hidup lalu pergi seenaknya. Sejak awal, perempuan itu sudah bertingkah sesuka hatinya. Tak sehari pun kakak laki-laki tertuaku merasakan manisnya pernikahan. Namun, tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak bisa ikut campur soal pilihan hati seseorang.
"Lalu, untuk apa kau mengundangku?" Iblis menunjukkan raut bosan. "Apakah kau cuma ingin berkeluh kesah?"
"Tolong, pikirkan cara agar ibuku tidak menangis lagi."
Iblis kembali bertawa. Kali ini lebih keras. Langit-langit rumah seperti akan runtuh.
"Kau sedang mengigau? Kau baru saja menyuruhku melakukan kebaikan. Aku ini iblis!"
"Bodoh," kecamku. "Kau tak mengerti kata-kataku."
Raut iblis memerah. Ia tampak tidak senang dengan kata-kataku.
"Aku hanya ingin ibuku tidak menangis lagi. Dengan cara apa pun."
Iblis tertawa sinis. "Harusnya kau bilang dari tadi. Baiklah, kalau begitu maumu." Iblis kemudian lenyap. Ia mulai melakukan pekerjaannya, yaitu merasuki hati dan pikiranku. Aku tahu itu.
***
Ini masih bulan pertama tahun ini. Ibuku masih saja menangis. Padahal, aku sudah menuruti hasutan iblis. Aku telah memusnahkan orang-orang yang melukai hati ibu. Aku berharap, hal itu akan menghentikan tangis ibu. Ternyata, aku keliru.
"Sudahlah, Bu. Jangan menangis lagi. Aku sudah memusnahkan mereka yang melukai hati ibu."
Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyebut-nyebut namaku. Air mata ibu semakin deras, mengalir seperti anak sungai, lalu membasahi bajunya. Ia terus mengisak. Aku mengulurkan tangan untuk meraih tangan ibu. Sebelum tangan kami bersentuhan, ujung-ujung jemari kami lebih dulu menyentuh terali besi.
***
TD, 01 Januari 2018
^Selamat Tahun Baru untuk Seluruh Kompasianer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H