"Burung-burung itu selalu menuju pulang," ujarmu suatu ketika. Kita sedang berada di pematang sawah, menyaksikan lukisan alam yang berpendar di cakrawala.
Jari-jariku bergerak di udara, seakan-akan melukis sesuatu di kanvas. "Teruskan," kataku sambil membayangkan kita sedang bercengkerama di cakrawala. Singgasana kita adalah mega-mega dan burung-burung yang melintas menjelma menjadi dayang-dayang berparas jelita.
"Burung-burung itu sama sepertiku."
Gerakan jariku terhenti. "Seperti kamu?"
Kamu mengangguk. "Entah mengapa, aku juga ingin selalu menuju pulang." Kamu berhenti sesaat, lalu berucap lirih, "Padamu."
Aku tertegun. Mataku menerawang jauh, lintasan-lintasan firasat dalam mimpiku melintas dan menitipkan keresahan.
"Kenapa hanya diam?"
Jari-jariku kembali bergerak, kali ini melukis keresahan dalam benakku di cakrawala. Aku berharap, semoga dengan demikian aku dapat menitipkan keresahanku di sana.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Aku masih membisu, berusaha meredam kegelisahan yang menguasai benakku.
"Tak ada," gelengku lalu menoleh padamu, "aku hanya memikirkan hal-hal yang tak pasti."