"Aku banyak berubah, bukan?" Akasha mengerjapkan sepasang mata besarnya yang indah. "Kau masih seperti dulu, masih di sini dan menjadi saksi masa laluku."
Sorot mata Akasha meredup. Aku menunggu kata-kata selanjutnya.
"Jejak itu tak boleh diketahui siapa pun. Segalanya akan... kau pasti paham maksudku." Jemari Akasha bergerak-gerak gelisah. Ia memain-mainkan sesuatu dalam genggamannya.
Sepertinya aku keliru. Akasha belum sepenuhnya berubah. Ia masih berbicara dengan yang selain manusia.
"Maafkan aku, tapi aku harus." Akasha memantik kotak kecil di tangannya. "Selamat tinggal... kau seharusnya tidak menjadi saksi peristiwa-peristiwa itu."
Panas. Aku merasa lidah api mulai menjalariku. Kenangan masa lalu kembali merayap dalam ingatanku. Pengasuh dan pengurus rumah yang tiba-tiba menghilang serta kedatangan orangtua Akasha. Kedatangan Akasha kali ini adalah untuk memusnahkan rumah yang ditinggalinya semasa kanak-kanak.
Aku menatap pohon asam jawa di depanku sambil menangis. Satu-satunya saksi yang mengetahui bahwa pengasuh dan pengurus rumah Akasha terkubur di bawah pohon itu sebentar lagi akan musnah.
***
Tepian DanauMu, 26 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H