Ia menangkap nada cemburu dalam suara istrinya yang meninggi. Paras perempuan itu memerah. Perangai istrinya memang agak berbeda akhir-akhir ini. Ia berusaha menenangkan perempuan itu. "Bagaimana mungkin aku melupakan kalian? Aku yang telah membawa kalian pindah ke padang ini."
"Kalau begitu pulanglah ke rumah," istrinya menunjuk rumah beratap ilalang, "di sanalah seharusnya tempatmu berada."
Ia mengangguk gelisah. Ranting-ranting mulai bergesekan dan bicara dengannya. Ia dapat merasakan pohon rimbun turut gelisah mendengar permintaan istrinya. Namun, ia tak dapat menolak permintaan perempuan itu karena untuk pertamakalinya, ia menemukan sorot kemarahan dalam mata istrinya itu.
Ketika hari mulai gelap, ia tak kunjung terlelap. Ia mulai mendengar ranting-ranting mulai bergesekan dan memanggil-manggilnya dalam kesunyian rumah. Ia menutup kedua telinganya dan berusaha memejamkan kedua matanya. Ketika ia mendengar pohon rimbun itu berseru-seru memanggilnya, ia tak dapat lagi menguasai dirinya dan berlari kencang ke tengah-tengah padang.
Ia terperanjat saat melihat wajah-wajah penuh kebencian sedang berdiri mengitari pohon itu. Istri dan anak-anaknya. Hawa panas membakar udara malam. Lidah-lidah api sedang berpesta menghabisi pohon rimbun miliknya. Sang istri berkata, "Setelah ini, tak ada lagi alasan bagi kita untuk tinggal. Kita akan pergi dari padang ini dan kembali ke kehidupan sesungguhnya."
Ia menatap wajah-wajah di sekitarnya satu per satu. Sebelum ada yang mencegahnya, ia melangkah cepat ke dalam api lalu memeluk pohon rimbun erat-erat. Ia membisikkan kata-kata tak ingin kehilangan. Bagaimana mungkin ia rela melepaskan kebahagiaan ketika sudah menemukannya?
***
Tepian DanauMu, 16 Maret 2018