Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ia yang Mencintai Pohon dengan Kata-kata

16 Maret 2018   18:02 Diperbarui: 17 Maret 2018   00:15 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: houstonpress.com

Anak-anaknya mulai berpikir, bahwa sang ayah telah menjadi gila. Mereka mulai bersungut-sungut, terlebih ketika ayah mereka menyuruh para pelayan untuk tetap tinggal di rumah megah mereka. Hanya mereka sekeluarga yang akan berangkat menuju padang kehijauan. Sang istri tidak bicara sepatah kata pun. Perempuan itu hanya diam dan bertindak sesuai dengan apa yang dikatakan suaminya.

Akhirnya, mereka sekeluarga berangkat beriringan meninggalkan rumah megah. Para pelayan melambaikan tangan dengan penuh kesedihan. Kepergian itu seperti perpisahan untuk selamanya. Pedati-pedati berbeban berat, raut wajah anak-anak yang muram dan langkah-langkah yang terlihat gontai. Keluarga itu bergerak meninggalkan rumah menuju padang kehijauan yang dikatakan oleh sang ayah.

Mereka tiba di padang itu ketika gelap baru merambat turun. Mereka tak dapat melihat apa-apa. Ia menyalakan obor dan meminta anak-anak lelaki untuk membantunya memasang tenda. Mereka bersungut-sungut karena mereka merasa letih dan lapar. Sang istri segera membongkar persediaan makanan. Perempuan itu membiarkan kelima anaknya makan dan minum, lalu membantu suaminya mendirikan tenda. Malam itu, mereka sekeluarga tidur berdesakan di dalam sebuah tenda untuk pertama kalinya.

Keesokan harinya, anak-anaknya terpekik saat mendapati padang itu berbeda dari apa yang ia ceritakan. Ia menenangkan mereka dan mengatakan bahwa padang itu akan menjadi seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Ia meminta keluarganya untuk mulai membangun kehidupan baru mereka di padang itu dan menanam bibit pohon di tengah-tengah padang sebagai tanda kehidupan baru mereka.

Istrinya menemukan sumber mata air melimpah tak jauh dari bibit pohon ditanam. Mereka mengeruk tanah di sekitar mata air sehingga menciptakan genangan. Genangan itu terus membesar dan akhirnya membentuk telaga kecil. Ia menyirami bibit pohon dan galur-galur hitam di padang dengan air dari telaga tanpa mengenal lelah. Ia bahkan merawat bibit pohon itu setiap hari dengan kata-kata dan doa. Jerih payahnya tak sia-sia. Pucuk-pucuk kehijauan di padang segera memadati galur-galur hitam dengan cepat dan pohon tumbuh rimbun di tengah-tengah padang kehijauan.

Semakin hari, ia semakin mencintai pohon rimbun itu. Ia sering duduk berlama-lama di bawah pohon sambil menatap rumah beratap ilalang tempat mereka sekeluarga tinggal. Kijang-kijang mulai merumput di sekitar pohon dan burung-burung melintasi hamparan biru maha luas. Sesekali, ia bercakap-cakap dengan pohon itu, seperti yang sering dilakukannya ketika pohon itu masih sangat kecil.

Pohon rimbun itu adalah pusat peradaban baru yang ia ciptakan. Ia meyakini hal itu dengan sepenuh jiwanya. Mereka mulai saling tergantung sama lain. Ia menemukan kedamaian di bawah naungan pohon itu, seolah-olah berada dalam pelukan yang menenangkan. Ia berjanji takkan pernah meninggalkan pohon itu. Saat ia berkata-kata, pohon itu seolah-olah mengerti segala yang ia ucapkan. Ranting-rantingnya bergesekan dan menimbulkan suara perlahan, seolah berbisik untuk menjawab segala perkataannya. Ia dan pohon itu saling berbincang layaknya sahabat.

Istri dan anak-anaknya perlahan mulai kehilangan sosok suami dan ayah. Ia tak lagi pulang ke rumah beratap ilalang. Mereka merasa asing dan perlahan-lahan mulai membencinya. Sang istri mulai bimbang dengan pilihannya. Anak-anak merindukan rumah megah dan deretan pelayan yang siap melayani. Padang kehijauan memang seindah surga, namun, mereka sungguh-sungguh merindukan pulang.

Ketika istri dan anaknya mendatanginya di bawah pohon rimbun dan mengatakan niat mereka, ia tersentak dan marah. Mereka telah menemukan kebahagiaan yang hakiki di tempat yang penuh kedamaian. Mengapa harus pulang? Ia sungguh tak mengerti, terlebih ketika istri dan anaknya mengatakan telah kehilangan dirinya.

"Aku tak pernah meninggalkan kalian di padang ini. Kita selalu bersama-sama," jelasnya. "Seumur hidup aku telah bekerja keras untuk memberikan kalian kehidupan, namun baru kali ini aku menemukan ketenangan dan kebahagiaan." Ia berharap dapat dimengerti oleh istri dan anak-anaknya.

"Kau mulai melupakan kami," ungkap istrinya terus terang, "segala perhatianmu telah tercurah untuk pohon ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun