Saat merebahkan tubuhmu malam itu, kau memandang kerlip yang gemerlap di angkasa seperti lampu pohon cahaya di alun-alun kota. Kau merasa takjub dengan keindahan itu, sama seperti saat kau bertemu pandang untuk pertama kalinya dengan sepasang mata bercahaya di masa mudamu. Kau lalu terkenang kalimat pemilik sepasang mata bercahaya itu: sebuah tempat selalu memiliki kenangan, terutama saat kau bertemu dengan orang-orang, memilih pergi lalu saling melupakan.
Kau menggeliat sejenak, seperti ulat yang meronta dan ingin terbebas dari kepompong yang mengungkungmu. Kau merentangkan kedua lenganmu lebar-lebar lalu tersenyum. Inilah duniamu, tempat kau berhak membunuh kenangan yang kau inginkan. Meskipun, kau tak pernah bisa membunuh kenangan yang kau bawa dari masa kanak-kanakmu.
"Papa mau ke mana?"
"Ke dunia luar, merayakan kebebasan."
"Kebebasan? Apakah itu nama mainan baru?"
"Tidak, itu hal yang paling diinginkan orang dewasa."
"Lebih dari makanan enak?"
"Ya, Ayah menginginkannya lebih dari itu."
Kau tercenung. Hal yang paling kau yakini di dunia adalah bahwa perempuan yang kau panggil mama takkan pernah kembali. Setelah sebuah botol bir menghantam dinding dan menimbulkan luka di ujung jemari kakimu; setelah perempuan itu mengucapkan sumpah serapah dengan riasan mata luntur; dan setelah perempuan itu menyeret sebuah kopor besar yang ia jejali dengan isi lemarinya tadi pagi.
"Apakah... kebebasan itu akan membuat mama kembali?" pertanyaan itu memantul di udara lalu menghantam benakmu. Kau terlalu takut untuk mendengar jawabannya, tetapi sudah terlambat bagimu untuk menarik kembali pertanyaan itu.
"Tidak, tapi hal itu akan membuat Papa tetap hidup."
"Kalau begitu, rayakanlah sepuasnya, Pa. Aku mau papa tetap hidup."
"Kau berbeda, tidak seperti mamamu," papa menepuk-nepuk pundakmu, "setelah besar nanti, jadilah perempuan hebat, jangan seperti dia."
Lalu, setiap hari kau melihat wajah papamu yang berseri-seri sekembalinya dari dunia luar. Kegembiraan itu menular seperti wabah dalam dirimu. Tetapi, kau sesungguhnya terkungkung. Kau melihat papamu merayakan kebebasan miliknya, tetapi kau tak lebih dari seorang penonton. Kau tidak pernah memiliki kebebasan itu. Kau baru menyadarinya setelah papamu mulai membawa pulang beberapa orang perempuan-yang bukan mamamu-dan menyuruhmu untuk melayani mereka.
Udara malam menusuk tulang, tetapi kau seolah sedang berada dalam pelukan hangat seorang kekasih. Sesuatu yang mengganjal di belakang kepalamu terasa seperti bantal empuk yang akan mengantarkanmu menuju dunia mimpi. Kau berharap kebebasan akan segera datang menjemputmu.
"I'll be home for Christmas... If only in my dreams..."* Bibirmu bersenandung lirih. Lagu itu dulu pernah dinyanyikan mamamu saat malam Natal dan papamu belum juga tiba di rumah. Kau menikmati suara merdu mamamu sambil menatap wajahnya yang terlihat berduka.
Kau mendengar gemuruh dan melihat cahaya itu datang mendekat. Kau dipenuhi gairah. Semangatmu meluap-luap hingga akhirnya, cahaya itu akhirnya bertemu matamu. Kau terbebas. Bintang-bintang di angkasa menari untukmu.
Kau sedang merayakan kebebasan milikmu, ketika orang-orang menemukan tubuhmu terbaring di rel kereta api malam itu.
***
Tepian DanauMu, 24 Desember 2017Â
*Salah satu lagu Natal legendaris yang dipopulerkan oleh banyak penyanyi
-Selamat Hari Natal kepada sahabat kompasianer yang merayakannya. Merry Christmas!-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H