Aku adalah kata yang tercecer dari sekelompok kata. Aku terbuang karena berbeda, tak diinginkan dan tak hendak menjadi mereka. Kata, kata dan kata cuma sekumpulan sampah. Meski mereka kerap berpesta pora memuliakan kata seakan-akan telah menemukan surga.
Ketika kau menemukanku, kau merawatku seperti harta karun. Inspirasi. Kau menamakanku demikian. Bertahun-tahun kau menataku bersama sekumpulan kata. Kemudian kau memajangku di etalase-etalase kaca. Mengelu-elukanku pada khalayak. Parade kata dengan kata. Dengan demikian, kau merasa layak ditasbihkan menjadi seorang pujangga.
Suatu hari kau mulai gelisah. Kau mulai mengacak-acak urutan kata. Mencari-cari penyebab kekeliruan. Aku menjadi tertuduh penyebab kejemuan. Kau berang lalu menjadikanku sasaran amarah. “Kata sialan!” Kau memakiku lantas melemparkanku ke dalam sebuah tong sampah.
Kini aku hanyalah kata yang teronggok bersama kerumunan sampah di sebuah sudut paling sepi. Namun, aku masih bisa mendengarmu dari sini. Kau sedang menata kata-kata dengan amarah dan kepedihan. Berjuang mengenyahkan segala kenangan tentang sebuah kata yang ingin kau lupakan.
Sementara aku sedang berpesta dengan gelap, kau mengisak dalam malam-malam panjang. Kelam meremukkanmu dan kata-kata bertubi-tubi mengkhianatimu. Kau didera kesedihan tiada akhir. Hingga di sebuah puncak malam, kau ingin mengakhiri segalanya. Sekelompok kata kau renggut lalu kau musnahkan. Malam berangsur hening setelah kau menikam sebuah kata. Aku.
***
Tepian DanauMu, 17 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H