Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jika AKU Bukan DIA [Sembilan-Prince Agler]

9 September 2016   05:24 Diperbarui: 11 September 2016   13:15 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.slate.com

Jika AKU Bukan DIA

Sebelumnya :

Satu (Secangkir Cappucino)Dua (Gelas Pecah)Tiga (Tangis Kemarau)Empat (Cemin Buram)Lima (Stiletto Merah)Enam (Blue 5 Cafe)Tujuh (Rahasia Brian)Delapan (Dalam Dilema)

Suasana terasa kikuk. Meski Cora berusaha bersikap selepas mungkin, ia masih tak dapat menepis rasa gugup yang menyerangnya malam itu. Ini adalah kencan pertamanya dengan seorang lelaki. Apalagi, lelaki itu tak lain adalah teman sekantornya, orang yang bertemu dengannya setiap hari dan mengenal betul kesehariannya.

Sejak bertemu di restoran ini lima belas menit yang lalu, Ramon tak henti-hentinya memandanginya dengan pandangan kagum. Membuatnya risih dan salah tingkah. Cora dapat merasakannya. Lelaki itu mungkin terkesima dengan penampilannya yang berbeda dari biasanya. Dalam hati, ia menyalahkan Jane.

Jane-lah yang memaksanya untuk pergi ke salon langganan gadis itu. Cora terpaksa menurut saat gadis itu mengatur gaya dan penampilannya. Mulai dari make up, model rambut hingga memilihkan baju, aksesoris, tas dan sepatu. Ketika melihat pantulan dirinya di cermin, Cora tertegun. Hampir saja ia tak mengenali dirinya sendiri.

Sejujurnya, ia sama sekali tak merasa bahagia dengan semua perubahan itu. Meski Ramon yang duduk di hadapannya sedang tersenyum padanya dan memperlakukannya begitu manis. Cora tetap merasa bahwa ia tak sebahagia seperti yang seharusnya. Ia sendiri tak tahu mengapa.

“Kau cantik hari ini,” puji Ramon, “jauh berbeda dengan Cora, teman sekantorku yang kukenal,” gurau lelaki itu.

“Terima kasih,” jawab Cora dengan pipi bersemu. Malu.

Pramusaji menghampiri meja mereka dan memberikan daftar menu. Mereka menyibukkan diri masing-masing dengan memilih menu yang ada. Tingkah Ramon yang sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya sedikit membuatnya merasa geli. Lelaki itu terlihat sangat antusias dengan kencan perdana mereka ini.

Sebenarnya, Ramon cukup menyenangkan. Ia membantu memilihkan menu untuknya. Lelaki itu juga berupaya mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana. Meski cukup sulit mengenyahkan kekakuan di antara mereka, setidaknya Ramon sudah berusaha semampunya. Cora sangat menghargai hal itu.

Satu jam berlalu. Mereka sedang menikmati tiramisu ketika pembicaraan tiba-tiba terputus. Cora memainkan cake di depannya dengan sendok. Gelisah. Cora berusaha keras mencari bahan pembicaraan, namun tak menemukannya. Untuk mengusir kegelisahannya, ia meraih ponsel dan melihat-lihat akun media sosial miliknya.

Cora membuka akun media sosial miliknya sesekali saja. Ia tak memiliki banyak teman di dunia maya. Sebagian besar adalah kerabat atau teman-teman kuliahnya semasa di asrama dulu. Itu pun tak banyak. Selain menerima permintaan pertemanan yang datangnya sesekali, ia nyaris tak pernah menambah pertemanan. Saat ini seseorang sedang meminta pertemanan dengannya. Prince Agler.

Cora mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tak mengenali akun itu. Perlahan, ia menelusuri akun tersebut. Status-status berupa puisi indah memenuhi dinding akun itu. Meski tak menemukan foto asli pemilik akun, rasanya tak ada yang ganjil dengan akun tersebut. Cora berpikir, mungkin pemilik akunnya tak ingin mempublikasikan diri dengan alasan tertentu. Tak ada salahnya menerima permintaan pertemanan itu. Telunjuknya memencet tanda terima pertemanan. Selesai.

“Ada yang menarik perhatianmu?” tegur Ramon tiba-tiba.

Cora mengangkat wajahnya dan menggeleng. “Cuma melihat-lihat sekilas,” jawabnya lalu meletakkan ponsel di atas meja.

“Boleh aku tanya sesuatu?”

“Silakan.”

“Apakah kau merasa nyaman bersamaku saat ini?”

“Mengapa kau bertanya begitu?” Cora balik bertanya. Hatinya merasa tak enak.

“Karena kau terlihat tak menikmatinya,” keluh Ramon.

“Bukan begitu. Selama ini kita berteman. Barangkali, aku belum terbiasa.”

“Jadi... kau tak keberatan bila kuajak pergi lain kali?”

Pertanyaan itu akhirnya tiba. Walaupun Cora ingin mencoba anjuran adiknya, namun ia benar-benar tak ingin berpura-pura. Sampai detik ini, ia masih belum bisa menganggap Ramon lebih dari sekadar sahabat. Tapi masalahnya, ia juga tak tega mengecewakan lelaki itu. Apa yang harus ia katakan pada Ramon?

Ketika lidahnya terasa kelu, tiba-tiba sebuah pesan masuk di akun media sosialnya.

Terima kasih karena sudah mau berteman denganku.

Prince Agler. Ternyata teman barunya itu cukup ramah. Spontan Cora membalas pesan itu.

Sama-sama.

“Cora?”

“Ya?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Mmm… bagaimana jika kujawab nanti saja? Kita setiap hari bertemu di kantor, kan?”

“Sesulit itu bagimu untuk menjawabnya,” desah Ramon. Wajah lelaki itu menyiratkan kekecewaan.

“Maaf, aku hanya tak ingin terburu-buru memutuskan.” Tepat di saat ia berhenti bicara, nada pesan masuk kembali berdenting.

Kapan-kapan, bolehkah kita berbincang?

Perhatiannya kembali teralih. Seseorang dari dunia maya ingin berbincang dengannya. Baru kali ini ia mengalaminya. Sesuatu melintas di benaknya. Berbincang dengan seseorang yang tak dikenal sepertinya bukanlah ide yang buruk. Ia akan memiliki tempat mencurahkan uneg-uneg tanpa harus mencemaskan rasa malu, takut dan lainnya. Mungkin akan menyenangkan. Mengapa tidak? Jemarinya bergerak cepat.

Tentu.

Setelah menjawab pesan itu, hatinya berdegup kencang. Rasa senang, antusias, waswas, bercampur menjadi satu. Semoga saja teman baru dunia mayanya itu akan menjadi teman bicara yang menyenangkan. Lalu tiba-tiba kepanikan melandanya. Bagaimana jika pemilik akun Prince Agler adalah orang yang dikenalnya? Bisa jadi, itu hanyalah sebuah akun samaran.

“Sepertinya, memang ada yang lebih menarik perhatianmu. Siapa itu?”

“Oh, tidak,” geleng Cora. Entah mengapa, wajahnya memanas.

“Kita pulang saja. Lain kali aku akan mengajakmu keluar. Itu bila kau bersedia.”

Hati Cora diliputi rasa bersalah. Seharusnya, ia lebih menjaga sikapnya dan tak membuat Ramon tersinggung. Tapi sekarang sudah terlambat untuk memperbaiki keadaan. Lelaki itu sudah melambaikan tangan kepada pramusaji untuk membayar tagihan. Ketika ia mengikuti langkah Ramon keluar dari kafe, ponselnya kembali berdenting.

***

bersambung...

Tepian DanauMu, 9 September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun