Lihatlah lelaki itu. Dia membuat layang-layang untuk kekasihnya. Layang-layang itu memenuhi langit-langit rumahnya dalam segala rupa dan warna. Besar, kecil, sedang, semuanya berlukiskan teratai kuning, putih, atau ungu. Lelaki itu akan berhenti hingga layang-layang ke seribu sambil menanti mentari terbenam, saat kekasihnya kembali untuk memenuhi janji...
***
Kau mencintai layang-layang seperti udara yang kau hirup di pagi hari. Sosokmu adalah tangan-tangan kehidupan. Hangat, lembut dan murni. Mengingatkanku akan halusnya sentuhan ibu. Hadirmu adalah segala rasa yang berdesakan, berlomba-lomba mengaliri seluruh pembuluh darahku. Cinta.
"Layang-layang perlambang impian. Kau bisa menerbangkannya sejauh yang kau inginkan, tapi suatu saat, kau bisa saja kehilangan."
Kata-kata yang kau ucapkan adalah sesuatu yang kau maknai sepenuh jiwa. Kau tak pernah menjelaskan mengapa kau begitu menyukai layang-layang. Tiada keraguan dalam nada bicaramu. Keteguhan tak terbantahkan. Itulah dirimu.
"Aku lebih menyukaimu dibanding layang-layang," kataku memuja.
Bola matamu berpendar, menerbangkanku menuju bintang-bintang. "Kalau begitu, bisakah kau membuatkanku layang-layang berlukiskan teratai?" Pintamu lirih, seperti untuk terakhir kali.
"Teratai?"
Kau mendekat, lalu berbisik di telingaku, "Jangan tanyakan, aku menyukai teratai sebagaimana aku menyukai layang-layang."
"Aku akan membuatkanmu layang-layang," jawabku di telingamu, "bukan satu, melainkan seribu."
"Seribu?" kau terperanjat, "sebanyak itu?"