Saat kau berjalan di antara mawar-mawar, mungkin kau akan bertemu dengannya, sosok perempuan yang mengecup kelopak-kelopak mawar dengan sepenuh rasa sewaktu pagi akan memulai hari. Dialah pengecup mawar. Sentuhan bibirnya memekarkan kuncup-kuncup mawar. Menonjolkan keindahan mereka saat embun mulai membentuk bulatan-bulatan di pemukaan daun. Kau pernah bertemu dengannya?
Tak ada yang tahu persis sejak kapan perempuan itu mulai mengecup mawar. Siapa yang menyuruhnya dan mengapa ia harus melakukannya. Kaki-kaki telanjangnya terus melangkah untuk menemukan di mana kuncup-kuncup mawar berada. Lalu, sepasang tangan halusnya membelai bunga-bunga indah itu. Terakhir, sentuhan bibirnya akan membuat kuncup-kuncup itu mekar dalam segala kemegahannya. Begitulah pengecup mawar melakukan tugasnya dari masa ke masa.
Pertemuanku dengan pengecup mawar bermula dari keinginanku untuk menanam mawar. Ketika aku dihinggapi keinginan untuk memiliki sepetak kebun mawar merah. Karena itu, aku menanami pekaranganku yang luas dengan mawar. Aku merawat mereka sepenuh hati dan memanjatkan doa-doa agar mawar-mawar itu tumbuh subur lalu menyemarakkan rumahku dengan bunga-bunga yang bermekaran.Â
Mawar-mawar itu akhirnya tumbuh subur, namun entah mengapa, kuncup-kuncupnya tak kunjung mekar. Hal itu membuatku nyaris putus asa. Karena itulah, aku mulai berdoa agar pengecup mawar datang mengunjungi kebun mawar milikku.
Seperti terselip pada suatu pagi yang basah, di sanalah pengecup mawar itu berada. Bibirnya bergerak cepat mengecup kuncup-kuncup mawar di kebunku. Hingga ia menyelesaikan tugasnya, aku cuma bisa mengamatinya diam-diam. Separuh terkesima dengan keindahannya yang tiada tara. Tatkala sosoknya meninggalkan kebun mawarku, sebuah kesadaran baru mengetuk pintu benakku. Ah... aku sungguh berharap pengecup mawar itu akan datang kembali.
Maka sejak itu, mawar-mawar tumbuh memenuhi sekeliling rumahku. Aku menanami mereka di mana saja. Mawar-mawar itu memenuhi dinding-dinding yang menjulang, teras, pagar, bahkan bergantungan di sepanjang atap. Kali ini tidak hanya merah, aku menanam mawar segala warna sebanyak mungkin, agar pengecup mawar datang mengunjungiku setiap hari. Setiap kuncup yang muncul dari sela-sela tangkai sangat kusambut dengan penuh sukacita, karena itu adalah panggilan terhadap pengecup mawar.
Pengecup mawar itu pun berkunjung ke rumahku setiap hari. Kepergiannya yang diiringi mawar-mawar bermekaran membuatku bahagia. Semakin lama, aku semakin membutuhkan kehadirannya dan tak ingin merasa kehilangan. Bagaimana bila aku meminta pengecup mawar itu untuk selalu berada di dekatku? Membayangkan sosoknya akan menghilang suatu hari nanti membuatku dicekam ketakutan yang mendebarkan.
Sebuah rencana tersusun dalam benakku. Pengecup mawar hanya boleh mengecup mawar-mawar di kebun mawar milikku, lainnya tidak. Maka, aku meniupkan mantra-mantra pada kuncup-kuncup mawar di kebun mawarku agar pengecup mawar itu tersesat dan tak bisa memekarkan kuncup-kuncup mawar di tempat lain. Ia hanya boleh melakukan tugasnya pada mawar-mawar milikku saja.
Rencanaku berjalan mulus. Kemarin, sosok pengecup mawar terlihat berjalan berputar-putar setelah mengecup semua kuncup mawar. Ia nampak kebingungan, sedangkan aku bersorak kegirangan dalam hati. Lalu hari ini, aku mendengar suara isakannya. Pengecup mawar itu gundah karena merisaukan kuncup-kuncup mawar lain yang tak bisa dikunjunginya. Seandainya kau bersamaku saat ini, kau pasti turut merasakan kesedihannya.
Mungkin aku harus membiarkan pengecup mawar itu sendirian. Lama-kelamaan ia akan menyadari, bahwa inilah jalan terbaik untuknya. Kaki-kakinya takkan letih lagi berkeliling demi mawar-mawar itu. Suatu hari nanti, ia pasti akan berterimakasih padaku karena aku telah menolongnya. Sama seperti dulu, ketika aku menolongmu kala kau masih mengecup daun-daun itu.
***
Tepian DanauMu, 23 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H