Tawaku nyaris meledak. Rupanya Karin masih suka melebih-lebihkan keadaan. “Sesekali berpikirlah positif,” saranku.
“Kau takkan mampu berpikir positif bila menjalani hidup sepertiku,” dengusnya.
“Hidupmu akan membaik, belum waktunya saja.”
“Bukan itu,” bantahnya tak mau kalah, “sejak dulu, kau memang selalu beruntung dariku,” katanya berapi-api.
“Beruntung?”
“Kau cantik, cerdas, dan sangat populer di kampus kita. Semua orang menyukaimu. Berbeda denganku. Mungkin itu sebabnya, mengapa nasib kita bagai langit dan bumi.”
“Astaga, Karin! Jadi selama ini kau berpikir begitu?” Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tak habis pikir. “Sepertinya kau harus membuang semua cermin yang ada di rumahmu.”
“Mengapa kau berkata begitu?”
“Kau tak menyadari betapa menariknya dirimu. Berhentilah mengeluh. Kau harus lebih banyak tersenyum.” Karin memiliki sepasang mata bulat, hidung indah dan senyum yang menawan. Jika wajahnya tak selalu muram, ia akan menjadi gadis yang disukai oleh banyak orang.
Karin terdiam sejenak lalu berkata, “Kau cuma sedang menghiburku.”
“Tidak, aku serius dengan kata-kataku.”