“Benarkah?” ucapnya lirih.
Kuanggukkan kepala.
“Datanglah dua hari lagi, aku akan memberitahumu.”
Lalu kami berdua membisu. Batinku mengatakan, hati perempuan itu sudah menjadi milikku.
***
Malam ini kami akan pergi dari desa. Kemarin malam, perempuan itu sudah menyatakan kesediaannya. Tak ada pilihan lain. Kami harus pergi sejauh mungkin untuk menghindari kemarahan tua-tua desa dan keluargaku. Cinta membuat kami memilih pergi.
Malam itu, aku baru saja menyelinap keluar dari rumah. Tiba-tiba suara kentungan terdengar riuh. Pertanda bahaya telah terjadi. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Panik. Nyala obor memenuhi desa. Perempuan itu. Aku harus segera menemukannya.
Susah payah aku berlari menerobos orang-orang menuju ujung desa. Kabut tebal menghalangi pandanganku. Semakin mendekati ujung desa, kabut itu semakin tebal. Bergulung-gulung. Seolah ingin melahapku. Tapi, aku tak boleh menyerah. Malam ini seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupku.
Perempuan itu masih di sana. Terkulai, nyaris kehilangan nyawa. Aku ingin membopongnya pergi. Tapi perempuan itu mencegahku.
“Jangan, pergilah dari sini.”
“Tidak, kita harus pergi bersama-sama,” bantahku.