“Terimakasih, Janne. Mungkin aku akan mencobanya.”
“Bukan mungkin, tapi cobalah,” desak Janne.
Cora merapikan rambut di dahi adiknya dengan jemari. “Oke, baiklah. Doakan saja berhasil.”
Terdengar suara ketukan, lalu pintu terbuka. “Sayang, Brian menunggu di bawah,” kata mama. “Cora, kamu juga turun ya,” ajak perempuan itu lalu bergegas turun.
Tentu saja ajakan itu lebih kepada “kewajiban” menunjukkan keramahtamahan bagi lelaki yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup putri kandung keluarga Howitt, pikir Cora getir.
Janne menggamit lengan Cora dengan riang. Saat tiba di ruang tamu, sapaan hangat Brian menyambut kedatangan mereka. Cora berusaha memaksakan diri untuk tersenyum. Ia tak begitu menyukai lelaki itu. Rasanya ada sesuatu yang palsu dalam sikap Brian. Cora sendiri tak mengerti kenapa harus merasa demikian.
Ketika keluarga Howitt dan Brian sedang berbincang-bincang, terdengar suara getaran ponsel. Brian memegangi saku celananya lalu pamit ke belakang untuk menerima panggilan itu. Baru saja lelaki berlalu, mama mengingatkan Cora untuk meminta Mbok Resmi menyiapkan beberapa makanan kecil.
Langkah Cora terhenti saat memasuki ruang makan. Ia mendengar suara Brian yang sedang berbisik lirih dengan seseorang di ponselnya. Karena diliputi perasaan curiga, Cora bersembunyi di balik lemari dan berusaha mendengarkan percakapan itu.
“Jangan curiga begitu. Hatiku hanya milikmu, Sayang. Ini cuma sementara. Aku akan kembali ke sisimu saat aku sudah menguasai perkebunan itu. Percayalah….” bisik Brian.
Cora meradang. Kata-kata itu menunjukkan bahwa lelaki itu hanya menginginkan harta keluarga Howitt dengan cara memperalat perasaan Janne. Tak mau menunggu lebih lama, ia keluar dari persembunyiannya.
“Kamu sedang bicara dengan kekasihmu?” tuding Cora.