Green terkekeh. “Tenang saja, aku selalu siap membuatkannya lagi untukmu,” janjinya. Ia pura-pura menegakkan tubuh dan memberi hormat.
Tawa renyah gadis itu terdengar. “Aku menduga, ini sejenis jebakan pelanggan,” pancing Cora.
Lelaki itu menyipitkan sepasang mata ke arahnya. “Jangan salah mendugaku. Janji ini… istimewa,” Green memberi penekanan pada kata istimewa.
Tentu saja Cora tak semudah itu percaya ucapan lelaki. Itu pasti keramahan terhadap pelanggan. Tapi ia tak dapat menahan dirinya untuk tidak merasa senang. “Oke, oke, aku pasti akan sering datang kemari.”
Percakapan hangat mereka terputus saat pelayan memberikan pesanan secangkir macchiato. Green menganggukkan kepala sekilas ke arah gadis itu lalu melanjutkan kesibukannya meracik cairan pekat beraroma memikat.
Cora menghirup minumannya sambil mengamati aksi barista itu. Sesekali lelaki itu tersenyum ke arahnya. Gadis itu bahkan tak menghiraukan pengunjung lain yang bersikap ramah bahkan menggodanya. Perhatiannya hanya tertuju pada lelaki itu. Green meracik kopi sebentar, lalu sesaat kemudian sudah berbincang akrab dengan pelanggan yang memesan. Barista itu sesekali melemparkan senyum pada mereka yang baru saja memasuki cafe. Green seolah bisa melakukan segalanya dalam satu waktu.
Hampir satu jam berlalu. Cora sudah menghabiskan minumannya. Ia berpikir untuk memesan lagi.
“Maaf, kalau kamu merasa bosan...” sapa Green tiba-tiba.
Aku takkan pernah bosan saat mengamatimu, batin Cora. “Oh... tidak. Hanya saja... cangkirku hampir kosong,” katanya sambil melirik ke.
“Hahaha...” gelak Green. “Cappucino lagi?” tawar lelaki itu.
“Hmmm... bagaimana kalau affogato?”