Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sweet Journey (Saat Ku Bertemu Denganmu) #2

7 Mei 2014   05:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_336739" align="aligncenter" width="650" caption="Sumber Foto: komputersmpn1parapat.blogspot.com"][/caption]

Kisah 2

MENUJU PARAPAT

Mentari hari ini terbit membawa kecerahannya. Seberkas sinarnya menerobos masuk melalui tirai jendela yang tak tertutup rapat. Secercah semangat meretas di hati meski sedih itu masih melekat erat. Ransel coklat berisi dompet, sunblock, pakaian, dan peralatan mandi teronggok di atas meja sejak tadi malam. Segala peralatan make-up dan aksesoris sengaja kutinggalkan. Bagian dari rutinitas harianku yang ingin kuhindari saat ini.

Kakiku melangkah menuju dapur untuk menyiapkan segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng sebagai “bekal energi” pagi ini. Selepas menyantap sarapan dan mandi, bergegas kukenakan t-shirt biru dengan celana jeans berwarna senada serta flat shoes kasual warna hitam yang akan mengantarkan langkahku. Saatnya menuju Terminal Amplas untuk menaiki bus menuju pulau tujuan. The journey is begin

Sesampainya di simpang empat Terminal Amplas, hiruk pikuk berbagai jenis angkutan umum dan calon penumpang mulai ramai. Sebagian besar mereka lebih memilih menunggu di luar terminal karena angkutan yang keluar dari terminal akan melintas di sana ̶ termasuk aku. Beberapa mandor angkutan berteriak-teriak memanggil calon penumpang. Sebuah fly over yang membentang gagah  melatari kesibukan pagi itu.

Sederet kedai menyediakan berbagai makanan dan minuman ringan untuk menemani perjalanan. Aku membeli sebotol air mineral lalu bertanya pada seorang ibu pemilik kedai jadwal bus yang menuju Samosir. Ia menganjurkan agar aku menaiki bus yang berangkat jam delapan nanti via Pelabuhan Ajibata. Menurutnya, ada masih ada cara alternatif lainnya untuk menuju pulau wisata tersebut. Lewat perjalanan darat ̶ via Tele yang melewati Tano Ponggol atau lewat pelabuhan lainnya ̶ via Pelabuhan Tigaras. Pelabuhan Ajibata memang memiliki daya tarik tersendiri, karena wisatawan dapat menikmati dahulu keindahan Kota Parapat sebelum menyeberang ke Pulau Samosir.

Kulirik jam di pergelangan tanganku ̶ hampir jam delapan tepat. Benar saja, lima belas menit kemudian, sebuah bus menuju Samosir tiba. Aku segera naik. Untunglah, bus belum sesak dipadati penumpang. Bangku kosong di pinggir jendela menjadi pilihanku agar dapat menikmati pemandangan selama perjalanan.

Bus bergerak meninggalkan kota Medan dengan kecepatan sedang. Senandung lagu-lagu khas Batak mengalun dari speaker. Sesekali terdengar penumpang yang bercakap-cakap dengan dialek khas. Rupanya kebanyakan penumpang adalah warga Samosir yang pulang dari pesta adat atau urusan lainnya di Medan. Lamunan kosong memenuhi pikiranku. Pemandangan di sepanjang jalan menyajikan deretan rumah dan gedung-gedung yang melelahkan mata. Rasa kantuk mulai menyerang. Baru saja hendak memejamkan mata, ponselku bergetar. Sederet nomor yang kukenal muncul di layar. Huh! Kejengkelan memenuhi hatiku.

“Halo…” sentakku kesal.

Hening sesaat. Suara di seberang di sana terdengar ragu, “Duma, kamu ada dima…”

“Sudah kubilang, jangan meneleponku lagi,” potongku.

“Tapi…”

Kumatikan panggilan itu. Lagi-lagi dari orang yang telah mengkhianatiku. Padahal, aku sudah menghapus nomornya. Namun percuma, angka-angka itu terlanjur terekam dalam ingatanku. Tiba-tiba seseorang berpindah duduk di sebelahku. Ruang dudukku yang semula leluasa menyempit. Tapi apa hendak dikata, bangku yang kutempati memang diperuntukkan bagi dua penumpang.

“Diganti saja kartunya,” celetuk “pendatang” baru di sebelahku. Seulas senyum jenaka menghiasi bibirnya.

“Maaf ?” belalakku kesal pada orang asing yang usil itu.

Ia malah terkekeh. “Ups, mungkin saya terlalu lancang. Namaku Dio…” Ia mengulurkan tangannya.

Wah, ia semakin berani saja. Tak ingin berbasa-basi dengannya, aku memalingkan wajah ke arah jendela bus.

“Maaf, kalau kamu merasa terganggu...”

Kulirik ia dengan ekor mata. Lelaki itu mulai menyibukkan diri dengan ipad di tangannya. Baguslah, aku tak perlu repot melayani obrolannya. Sepertinya ia seumuran denganku. Sebuah tas kamera bergelayut di pundak kirinya. Ransel yang mulai lusuh berada di pangkuannya. Rambutnya ikal pekat dengan alis tebal yang mengelam. Hidungnya yang mencuat terlihat terpahat menawan. Wajah yang cukup menarik…

“Ada yang perlu saya bantu?” Ia mengejutkanku.

Aku terkesiap malu. Tak menyangka ia akan memergokiku demikian rupa.

Eh, oh, tidak… Bukan apa-apa. ” Duh, orang ini pandai sekali membuat orang salah tingkah.

“Perkenalkan, namaku Dio…” Ia mengulurkan tangan untuk yang keduakalinya.

Terpaksa kusambut uluran tangannya mengalihkan rasa malu, “Duma.”

“Mau kemana, Dum?” Ia kini menyebutkan namaku.

“Samosir, kamu?”

Sungguh suatu kebetulan. “Sama, dong. Aku juga mau ke sana.”

Oya? Syukurlah bertemu teman seperjalanan. Soalnya aku baru tiba tadi malam dari Jakarta. Kamu darimana?”

“Medan.”

Wah, beruntungnya aku. Bisa mendapat guide sekaligus teman baru.” Ia tersenyum senang.

Kedua alisku bertaut mendengar kalimatnya. Jangan-jangan ia berniat untuk menjadikanku sebagai pemandu dadakannya.

Sorry, mungkin aku tak bisa menjadi guide-mu…”

Oh, maaf. Bukan begitu maksudku. Dua orang dengan tujuan yang sama lebih baik melakukan perjalanan bersama, kan? Lagipula, aku sama sekali belum pernah ke daerah ini…”

“Aku mengerti maksudmu,” potongku. “Hanya saja… aku sedang ingin sendirian. Lagipula, kita ‘kan baru saja kenal.” Kalimat naifku segera membuatku menyesalinya.

Seulas senyum tergurat di wajahnya. “Ayolah… Kamu pasti takkan menyesal. Aku bisa jadi teman seperjalanan yang menyenangkan ̶ dijamin. Lagipula, apa tampangku kelihatan seperti orang jahat?”

Kami berpandangan sesaat ̶ terlintas tujuan awalku melakukan perjalanan ini untuk berlibur dan memulihkan diri. Sejenak aku menimang-nimang dalam hati. Rasanya baik juga bertemu seorang kawan baru dan bepergian bersama. Mungkin saja dengan cara inilah aku lebih cepat melupakan segala yang terjadi. Lagipula tak ada yang nampak salah dari kenalan baruku ini. Sekilas, ia terlihat cukup menyenangkan.

Hmmm… baiklah. Tapi sebenarnya aku juga nggak tahu banyak soal pulau itu. Hanya saja, kebetulan aku berdarah Batak. Urusan komunikasi mungkin bisa kubantu. Tapi… aku masih kurang fasih,” jelasku agak malu.

Ia tertawa lebar. “Nggak apa-apa. Terimakasih ya,” katanya riang.

Bus terus melaju, melintasi tugu jam Kota Lubukpakam, kota kecil tempatku dibesarkan. Sejak dulu, daerah ini sebenarnya lebih dikenal dengan nama Timbangan. Konon, di sini dulu memang terdapat timbangan jembatan untuk mengetahui berat kendaraan beserta muatannya untuk pengawasan jalan. Kini, kota tempat mama mencari nafkah sebagai seorang guru sekolah dasar ini menggeliat bak gadis remaja yang sedang bersolek. Sejak pembangunan Kualanamu International Airport diluncurkan, pembangunan infrastruktur dan ruko berlangsung masif, utamanya di ruas jalan menuju bandara.

Dalam masa perjalanan yang singkat, ia sudah membuatku terpingkal-pingkal. Dio berhasil mencairkan kekakuan awal perkenalan kami. Kami terlibat pembicaraan seru yang membuatku semakin mengenalnya. Laki-laki periang berdarah Manado-Jawa itu seorang jurnalis lepas yang telahmengunjungi banyak daerah di Indonesia. Seorang backpaker sejati. Ia sedang bertanya mengenai pekerjaanku ketika ponselku kembali bergetar. Nomor yang sama tertera lagi di layar ponsel.

“Orang yang tadi?” tanyanya.

Aku mengiyakan, lalu me-reject panggilan itu. Meski ingin, aku tak dapat me-non aktifkan ponselku karena mama akan khawatir. Walau putri tunggalnya sudah dewasa, ia masih saja diliputi kecemasan berlebihan. Selalu menanyakan kabarku hampir setiap hari.

Dio mengamati wajahku sejenak. “Bukannya ingin mencampuri. Tapi… bagaimana dengan usulku tadi?”

Masuk akal juga, benakku. Entah mengapa aku lupa memikirkannya. “Boleh juga, akan kulakukan bila sudah mendapatkan nomor baru,” jawabku. Tak ada alasan bagiku untuk mempertahankan nomor lama ini. Begitu menggantinya, aku akan segera menghubungi mama agar ia tak cemas.

Memasuki Kota Tebing Tinggi, terlihat deretan kios-kios di pinggir jalan yang menjajakan lemang dalam ruas-ruas bambu. Lemang adalah makanan khas kota ini selain kue kacang cap Rajawali, Beo atau Garuda yang terkenal itu. Sayang, bus yang kami naiki tidak singgah di sini. Namun, kekecewaanku sedikit terobati ketika seorang laki-laki berumur pertengahan tiga puluh naik bus dan menjajakan sekeranjang penganan itu. Lemang ketan hitam dan putih yang hanya dihargai sepuluh ribu sebanyak tiga buah itu kubeli beberapa. Ternyata hanya dikukus saja, bukan dibakar dalam ruas bambu seperti lemang yang dijajakan di deretan kios-kios itu. Walau demikian, aku dan Dio ̶ kawan seperjalananku ̶ sepakat tentang rasanya yang tak mengecewakan.

Sehabus menikmati lemang Tebing Tinggi, ia menanyakan mengenai pekerjaanku. Kuceritakan sekedarnya saja pengalaman singkatku sebagai tenaga administrasi di sebuah perusahaan pembiayaan. Dio tak bertanya lebih jauh, mungkin menghargai privasiku. Selanjutnya kami saling bercerita satu sama lain hingga bus mulai memasuki Kota Pematang Siantar, kota yang terkenal dengan oleh-oleh Roti Ganda dan becak motor-nya. Rupanya kenalan baruku sangat tertarik dengan ceritaku tentang becak Siantar yang ditarik oleh motor tua buatan Inggris, Birmingham Small Arm (BSA). Ia penasaran ingin melihat secara langsung becak yang tersohor karena keantikannya itu.

Bus merangkak perlahan memasuki Terminal Parluasan untuk singgah di loket. Hiruk pikuk penumpang baru yang naik ke atas bus bercampur baur dengan penjaja lemang dan bolu Siantar begitu bus berhenti. Inang-inang penjual dengan gigih menawarkan dagangannya sambil memanggil-manggil penumpang dari kaca jendela. Sementara itu, kenek bus sibuk hilir mudik menaikkan barang-barang dari loket ke dalam bus.

Rasanya menarik juga turun sejenak untuk meregangkan tubuh yang penat.

“Bang, boleh turun sebentar,” tanyaku pada sang kenek.

“Boleh, Kak. Tapi seperempat jam saja ya,” jawabnya dengan dialek Batak yang kental.

Baru saja aku hendak mengajak Dio turun, kenalan baruku itu ternyata sudah turun lebih dulu. “Dio, tunggu aku…”

Ia terkekeh. “Yuk, di sana ada becak Siantar,” ajaknya riang.

Sekejap kemudian dia sudah tenggelam dalam keasyikannya memotret sebuah becak yang sedang mangkal di persimpangan jalan yang tak jauh dari bus. Abang becak sekejap menjadi artis dadakan, tersenyum-senyum dengan pose malu-malu. Sesaat kemudian Dio sudah mengarahkan kameranya ke para penjual penganan yang masih berusaha menawarkan dagangan dengan gigihnya.

Sementara itu, aku tertarik dengan bolu Siantar yang dijajakan. Roti bolu itu sebagian berupa bolu gulung yang ditaburi sedikit coklat tabur dan sebagian lagi adalah bolu biasa berbentuk persegi. Bolu-bolu itu berada di dalam kardus yang dialasi kertas koran. Sepertinya lumayan juga untuk mengganjal perut.

“Berapa bolunya, Inang?” tanyaku pada seorang penjual bolu.

Inang penjual tersenyum penuh semangat. “Tiga sepuluh, Kak,” Maksudnya tiga buah bolu dihargai sepuluh ribu saja.

Nggak bisa empat sepuluh?” tawarku. Bukannya apa-apa, sedari tadi kulihat beberapa penumpang bus kami membeli seharga yang kusebutkan.

Ia mengiyakan dan dengan sigap membungkus empat buah bolu dengan secarik koran. Aku menggigit sebuah bolu. Hmmm… cita rasanya lumayan juga. Cukup mengenyangkan dan murah pula. Aku mencari-cari sosok Dio, ingin menawarkannya untuk mencicipi bolu. Entah kemana perginya ia…

Aku tersentak ketika seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Dio…sampai kaget, darimana?”

Nih.” Ia mengulurkan sebuah kartu perdana. “Untukmu.” Ternyata ia serius dengan idenya.

“Terimakasih,” ucapku tulus.

Segera kubuka ponselku untuk mengeluarkan sim card yang sudah kupakai bertahun-tahun lamanya. Baru saja aku hendak mematahkannya, ia mencegahku.

“Eh, jangan... Masih ada pulsanya, nggak?”

“Ya, lumayanlah.” Pulsa ponselku memang tak pernah sampai kritis.

“Aku punya ide yang lebih baik.”

Ia menyambar sim card di tanganku lalu berlari kembali ke arah abang becak. Sesaat kemudian mereka terlibat pembicaraan singkat nan akrab sambil tertawa-tawa. Ia kembali arahku dengan senyum lebar.

Sim card-mu telah berada di tangan yang tepat berikut sisa pulsanya takkan terbuang sia-sia,” lapornya.

“Maksudmu?”

“Orang yang terus mengganggumu itu akan heran mendengar kamu sekarang beralih menjadi abang becak…” Tawanya pecah.

Beberapa detik kemudian aku tertawa keras. Kami berdua terbahak bersama. Baru kali ini aku tertawa sekeras itu. Terutama setelah kisah menyakitkan yang baru kualami. Orang-orang di sekitar kami memperhatikan. Ketika aku menyadarinya, spontan aku menutup mulut dengan telapak tangan. Dio tersenyum geli melihatku yang tersipu malu.

Tiba-tiba suara kenek berseru mengajak kami naik ke dalam bus. Bus akan segera berangkat. Kami pun bergegas. Bus bergerak melaju, meninggalkan Kota Pematang Siantar menuju Parapat.

***

Bus kini bergerak lambat melalui lika-liku jalan yang menurun menuju kota Parapat. Awalnya aku merasa ngeri melihat jurang yang menganga di sebelah kanan jalan. Namun keindahan danau Toba yang luas menghampar di bawah sana     membuatku sejenak melupakan semua itu. Permukaan air yang hijau kebiruan membentang luas menakjubkan. Keindahan maha sempurna itu membuatku larut dan terbius, tak terkecuali Dio. Ia terlihat sangat menikmatinya.

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul satu ketika bus mulai memasuki terminal Parapat. Saatnya makan siang. Hawa yang mulai terasa dingin semakin membuat perutku berbunyi keroncongan. Rupanya Dio mendengar bunyi “nyanyian” di perutku.

“Lapar berat, ya?” tanyanya geli.

Ia membuatku malu untuk yang keduakalinya.

“Ya. Yuk, turun makan,” ajakku lalu memalingkan wajahku yang panas merona.

Satu persatu penumpang bus turun memasuki sebuah kedai makan terdekat. Kami mendekati etalase kedai untuk melihat menu yang ada. Setumpuk ikan goreng berukuran kecil menarik perhatianku. Seingatku, jenis ikan ini belum pernah kusantap sebelumnya.

“Ini ikan apa, Inang?” tanyaku pada ibu pemilik kedai. Ibu berumur pertengahan empat puluh terlihat ramah.

“Oh, ini ikan pora-pora, khas Danau Toba sini. Garing, paling enak bila ditemani nasi hangat dan sayur daun ubi tumbuk,” jelasnya.

Aku dan Dio berpandangan penuh arti. “Kami pesan dua porsi. Jangan lupa sambalnya sekalian, Inang,” pesanku. Perjalanan tak lengkap rasanya bila tak disertai dengan mencicipi kuliner khas daerah setempat. Kelihatannya Dio sependapat denganku.

Kami mencari sebuah meja yang kosong di pojok. Hampir semua meja di kedai itu telah dipenuhi penumpang bus. Ada yang memesan makan siang, ada pula yang sekedar duduk-duduk menikmati segelas kopi atau teh manis. Supir dan kenek makan siang bersama di satu meja. Makanan yang tersaji adalah pelayanan ekstra dari pemilik kedai alias makanan gratis karena jasa mereka mendatangkan penumpang ke kedai itu.

Pesanan kami akhirnya datang. Kata-kata ibu pemilik kedai memang tak salah. Ikan pora-pora goreng itu garing dan renyah. Bila dicocolkan dengan sambal andaliman ̶ sungguh nikmat rasanya. Nasi hangat dan sayur daun ubi semakin melengkapi kenikmatan itu. Baik Evan maupun aku tak menyisakan sebutir nasi pun di piring kami. Agaknya selera kami memiliki kecocokan.

Setengah jam berlalu. Satu-persatu penumpang mulai naik ke atas bus. Supir dan kenek mulai menyerukan bahwa bus akan segera berangkat. Kami bergegas naik. Baru saja aku hendak menaiki bus tiba-tiba…

“Aduh,” seruku. Kakiku tergelincir, sejenak aku kehilangan keseimbangan.

Dengan sigap Dio menahanku dengan tubuhnya. Aku kembali mendapatkan keseimbanganku kembali. “Hati-hati,” bisiknya.

“Ya,” jawabku. Lagi-lagi wajahku sedikit memanas. Namun melihat ekspresi wajah Dio yang terlihat biasa saja, aku mengutuk diriku yang terlalu “sensitif”. Kami kembali duduk dengan kecanggungan menguasaiku. Dio segera mencairkan kekakuan dengan melemparkan banyolan konyol yang membuatku terbahak.

Supir bus membunyikan klakson beberapa kali untuk memanggil beberapa penumpang yang masih berada dalam kedai. Setelah semua penumpang masuk, bus pun mulai melaju menuju Ajibata…

***

Samosir, 6 Mei ’14 (Tepian DanauMu)

bersambung ke kisah 3…

Baca kisah sebelumnya di sini:

Kisah 1 (Akhir Kisah-Awal Cerita)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun