Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tarian Perempuan Senja

4 Juli 2014   05:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:33 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_346170" align="aligncenter" width="650" caption="Sumber Gambar: ricoveryheart.blogspot.com"][/caption]

“Jadi, kita akan berpisah di sini?” Sorot perempuan muda itu menoreh luka dalam relung lelaki di hadapannya.

Lelaki itu mengangguk, mencoba menegaskan kelemahan hati yang menyusup. “Maafkan aku. Sungguh, aku tak kuasa meraihmu dalam perahu yang layarnya hendak kukembang.”

“Aku mengerti,” sambut sang perempuan tersenyum getir. Saat berbalik menuju kapal di dermaga, langkahnya nyaris tersendat. Batinnya bergolak hebat. Tubuhnya bergetar menahan libasan perih dan amarah. Hanya cemeti harga diri yang membuatnya menegakkan kepala. Melecut hati kecilnya untuk segera berlalu.

Besi terapung itu bergerak menjauh hingga tinggal sebentuk noktah di lautan luas. Meninggalkan lelaki tertegun lunglai di hamparan pasir. Larut tenggelam menangisi kekasih yang pergi. Hingga gelap tiba menjemput bayangannya.

***

Dari kejauhan titik-titik putih menghiasi langit, kontras dengan semburat jingga yang melukis senja. Ternyata serombongan camar terbang mendekat. Mereka tak menyadari, sepasang mata indah berbulu lentik mengamati penuh kekaguman.

“Aku bebas seperti kalian!” pekik perempuan muda menyapa camar-camar itu lalu memejamkan mata dan menghirup udara asin di sekitarnya kuat-kuat. Membawanya menelusuri rongga hidung, kerongkongan, lalu paru-parunya sebelum menghembuskannya bersama kegembiraan. Mencumbu aroma kebebasan yang dulu begitu menakutkan dengan rakus. Kepedihan perpisahan di dermaga yang semula menghancurkan hidupnya raib. Semuanya menjelma menjadi semangat aneh yang meronta-ronta dengan kuat dan hebatnya.

“Aku mencintai hidupku!” pekiknya membahana.

Seakan kembali menjadi bocah, perempuan mulai melonjak-lonjak riang gembira. Gaun putih berbahan halus yang membalut tubuh rampingnya berkibar-kibar oleh hembusan angin yang menderu. Begitu pula dengan rambut panjang ikalnya yang tergerai menyentuh punggung. Lantas, ia berjinjit dan meliuk-liukkan tubuh bagai penari di atas panggung. Orang-orang di geladak bertepuk riuh, terpesona oleh gemulai tubuh mudanya yang memikat mata.

Bravo! Bravo!” seru para penumpang kapal yang mengelilinginya. Seakan terhinoptis, mereka berkumpul untuk menyaksikan aksinya.

Perempuan muda menari semakin cepat. Bibirnya menebar senyuman bagi para penontonnya.

“Sungguh hebat!” sorak para perempuan terpukau.

Mendengar sorakan itu, ia menghentakkan tubuh lebih kencang dan lebih cepat lagi.

“Luar biasa!” riuh para lelaki. Mereka berdecak kagum bukan hanya oleh tarian perempuan muda, tapi lebih oleh kemolekan paras dan tubuhnya.

Perempuan muda terus berputar dan berputar laksana kitiran angin. Satu-persatu masa lalu berkelebat di benaknya. Bisikan cinta dari sang lelaki pujaan. Saat-saat bahagia bersama merajut mimpi. Lalu tahun-tahun panjang penantian yang menyakitkan. Orang-orang menahan nafas. Semua terpaku, semua menunggu, dan…

Aaakh…!” Tubuh indah itu tersentak lalu tersungkur di lantai kapal. Orang-orang tertegun hingga terdengar suara membahana.

“Ha… ha… ha…!” Tubuh perempuan muda terguncang-guncang keras bersama ledakan tawanya. Para penonton diliputi keheranan.

“Mengapa kau tertawa?” cetus salah seorang penonton “pertunjukan” itu.

Perempuan itu sontak menghentikan derainya lalu membelalak kebingungan pada si penanya. “Ya, kau benar. Mengapa aku tertawa?”

Pertanyaannya menggema ke seluruh kapal lewat angin yang menderu-deru ke gendang-gendang telinga orang-orang di sekelilingnya. Mereka saling berpandangan kebingungan dan saling berbisik satu sama lain.

Seolah tersadar dari tidur selama bertahun-tahun, secercah senyum sekonyong-konyong menggurat di lekuk tipis bibir sang perempuan. Perlahan ia bangkin dalam slow motion seperti butiran kacang hijau yang merangkak tumbuh menjadi kecambah. Ia berdiri tegak dengan pijakan bagai akar yang mencengkeram lantai kapal. Berdiri kokoh dengan wajah angkuh tengadah bak pucuk hijau yang mendobrak biji kecambah.

“Aku tahu,” desisnya. “Aku tahu mengapa aku tertawa. Kalian semua harus tahu, aku telah berhasil melepaskan diri dari belenggu cinta seorang lelaki. Lelaki yang telah memberiku segalanya, namun tak mampu kumiliki.”

“Mengapa?” tanya orang-orang penasaran.

“Karena dia telah dimiliki oleh perempuan lain sebelum aku. Juga dimiliki seorang putri kecil yang memanggilnya ayah. Mulanya, aku berharap ia melepaskan ragu dan segara mengajakku berlayar bersama. Kalian tahu? Kecemasan selalu menghantuiku. Menunggu tiba suatu hari dimana aku akan kehilangan dia. Padahal dia tempat hatiku bertaut, tempat berkeluh kesah dan menadah tangan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup. Hanya dia dunia yang kumengerti.”

Perempuan muda berhenti sejenak dalam jeda. Orang-orang yang menonton kini duduk mengitarinya. Mereka tak sabar menunggu kelanjutan kisah dari bibir perempuan muda.

“Setiap hari hidupku dan hidupnya bergelut dalam bimbang. Sungguh melelahkan, terombang-ambing dalam keputusasaan. Kuputuskan meminta kepastian terakhir darinya. Lelaki itu memilih melepaskanku…”

Orang-orang ramai berbisik-bisik mendengar penuturannya. Mereka terbelah menjadi dua kelompok. Sebagian prihatin, sebagian lagi mengecam tingkah lakunya karena ia telah mencoba merebut lelaki milik sesamanya perempuan.

Perempuan muda meletakkan telunjuk di bibirnya memberi tanda agar semuanya diam. “Kuputuskan pergi berlayar mencari impian baru. Kupikir, aku akan segera karam terhempas kejamnya dunia luar. Tetapi lihat… Aku bahagia bersama kalian semua di sini. Memiliki kemerdekaan sepenuhnya atas hidupku.”

Ia menghamburkan pandang ke sekelilingnya, “jadi semuanya… mari bergembira!” teriaknya lantang.

Lalu perempuan muda bertubuh semampai mengangkat kedua lengannya yang tinggi-tinggi ke udara. Orang-orang bertepuk tangan riuh menyambut ajakannya. Kegembiraannya menulari mereka seketika. Sekelompok pemuda mulai memainkan gitar dan harmonika yang mereka bawakan dalam irama country. Seluruh orang yang berada di geladak serempak menari dan menghentak bersama. Satu-persatu penumpang yang masih berada di dalam kapal keluar mendengar keramaian itu. Mereka segera menyatu dalam keriangan yang tumpah ruah di sana. Keramaian semakin memanas kala minuman mulai diedarkan. Semua melebur dalam tawa seiring tabuhan ombak yang menghantam dinding-dinding kapal.

Tiba-tiba perempuan bergaun putih itu menyuruh musik berhenti. “Apa kalian bahagia?” seru perempuan muda bertanya pada semua orang.

“Ya! Kami bahagia!” sambut orang-orang. Mereka semua berkeringat, kebanyakan minum dan menari.

“Bahagia dan merdeka?” tanyanya lagi.

Musik dan tari terhenti seketika. Pengaruh minuman seakan lenyap dalam keheningan. Mereka membisu dan berpandangan satu sama lain. Lalu mulai berbisik-bisik. “Apakah kita merdeka?” Tak ada yang mampu menjawab. Pertanyaan terus berulang dan berseliweran di antara mereka sebelum pecah dalam teriakan-teriakan sumbang.

“Apakah kita merdeka?” tanya seorang ibu tua keras.

“Kita tidak merdeka!” jawab pengedar minuman.

“Kita terbelenggu!” timpal pemain harmonika.

“Oleh aturan-aturan.”

“Oleh ikatan-ikatan.”

“Oleh kemunafikan.”

Seseorang berucap, “oleh diri kita sendiri.”

Mereka mulai berseru-seru, menangis bahkan menjerit histeris. Keluhan-keluhan panjang berisi ketidakpuasan hidup bergelora silih berganti dari mulut-mulut putus asa.

“Hentikan!” Bentakan perempuan muda terdengar berwibawa. Semua terpaku mendengarnya. “Kalau begitu, merdekalah kita untuk hari ini! Lepaskan segala belenggu aturan, ikatan,, atau kemunafikan. Mari raih tangan orang asing di sekitarmu dan ajak menari bersama. Lupakan segalanya! Ayo bergembira!”

“Ya, mari bergembira!” Gemuruh suara memecah menyambut. Musik kembali menghentak riang dalam irama country. Semua kembali menari, kali ini berpasangan. Suami meraih istri lelaki lain, sedangkan para istri meninggalkan suaminya. Teman meninggalkan teman dan sahabat berpaling dari sahabatnya. Para kekasih seolah melupakan kekasihnya.

Byarrr! Ombak besar tiba-tiba menabuh dinding kapal dengan kerasnya. Penumpang di atas kapal seolah tidak menyadarinya. Mereka terlalu larut dalam kegembiraaan. Gumpalan awan mulai memekat seiring kabut yang mulai turun menyelimuti udara. Sementara itu, dari arah utara angin bersiur gulung-gemulung menerpa menuju kapal.

Blarrr! Suara guntur dahsyat menggelegar, meledak di udara. Keriuhan sejenak terhenti. Mereka baru tersadar akan apa yang terjadi. “Badai!” teriak seseorang. Kepanikan melanda. Semua penumpang berlarian ke dalam kapal menghindari siraman hujan deras dan suasana alam yang mencekam. Tak ada yang ingat pada perempuan muda. Tak ada yang melihat kalau ia terus menari, tak menghiraukan segala yang terjadi di sekelilingnya. Seolah menjadi satu dengan senja dan badai yang semakin mengamuk.

Kapal semakin terombang-ambing dipermainkan deru angin yang semakin menggila. Gelombang tinggi yang bertubi-tubi menghantam. Tepat ketika kapten kapal bergumam bahwa ini adalah badai terbesar yang pernah dilihatnya, sebuah gelombang dahsyat menerjang mengolengkan kapal. Sempat terdengar jeritan dari arah geladak di antara gemuruh air yang menggetarkan kaca-kaca kabin.

***

Keesokan harinya kegemparan terjadi. Semua media rebut memberitakan soal badai terburuk yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Tak lupa diberitakan tentang hilangnya seorang perempuan muda bergaun putih di sebuah kapal yang terkena amukan badai.

Di sudut sebuah kota, seorang lelaki terpaku menatap layar kaca. “Seharusnya tak pernah kubiarkan kau pergi berlayar meninggalkanku, Angela. Seharusnya tak pernah…” Sepasang matanya berlinang. Di luar sana, sekelompok pemuda di ujung jalan menyanyikan lagu dalam irama country.

***

Somewhere, 30 Januari 2003

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun