Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebut Aku IBLIS

15 Oktober 2014   05:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:59 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber Gambar: bluehorn.blogspot.com

***

Pagi masih basah. Hatiku sudah membara. Aku ingin menyaksikan sedikit keributan sekarang juga. Sosok ringanku melanglang di antara gedung-gedung, taman-taman, pertokoan, dan perkantoran. Itu dia… Sebuah keributan kecil tepat di persimpangan lampu merah segera menarik perhatianku. Ringan saja aku melayang turun ke sana.

“Kamu tega, Mas! Baru sebulan bilang cinta malah janjian dengan sahabatku…”

Seorang gadis muda terisak nyaris histeris. Ramai orang lalu lalang tak dihiraukannya. Pulasan make up di wajahnya hampir mirip badut. Linangan air mata diseka asal saja. Warna-warna berbaur, membuat tampangnya jadi amburadul.

Lelaki di hadapannya gugup salah tingkah. Sesekali menggaruk kepala sambil melirik orang-orang yang saling berbisik.  Melihat senyum mengejek orang-orang yang menyaksikan, perlahan kepalanya tertunduk kalah menatap trotoar.

“Ini cuma salah paham…”

“Lalu ini apa?” perempuan muda mengacungkan gadget di tangannya. Lelaki itu mengangkat pandang. Sepasang wajah ceria terlihat pada layar. Lelaki itu berpose mesra dengan gadis lain.

Rona pucat menjalari wajah lelaki itu. Pias. Saatnya untuk membuat riuh ini semakin gaduh.

Ayolah, lelaki muda sepertimu tak pantas dipermalukan di keramaian seperti ini…

Gadis muda itu masih terus menangis. Namun lelaki di hadapannya mulai mengepalkan jemari menahan marah.

Coba lihat, apa sih cantiknya dia? Biasa saja. Lagipula, dia mempermalukanmu di depan umum! Sudahlah, tak usah buang-buang waktu…

Mendengar bisikanku, kepala yang semula terkulai tiba-tiba tegak. Marah menyala dalam sorot mata itu. Sang lelaki telah termakan umpan bisikanku.

“Hentikan! Aku malu, tahu! Terserah kamu. Mulai hari ini… kita putus!”

“A-pa?” Sontak gadis linglung. Menatap nanar tak percaya.

Tanpa buang waktu, lelaki itu berbalik badan dan mengambil langkah buru-buru. Sekejap mata menghilang kemudian di ujung jalan.

Di persimpangan itu gadis muda menangis keras-keras. Tepat di hadapannya, aku terbahak-bahak hingga puas…

***

Begitulah kulalui hidup sejak pagi hingga menjemput malam. Hari-hariku bergairah dengan "sedikit keributan" yang tercipta. Semua itu adalah hiburan terindah bagiku. Kepuasan yang kudapatkan melebihi saat aku menembus kapas-kapas putih angkasa. Bahkan sensasi duduk menatap bintang dari menara tertinggi lalu melayang menjatuhkan tubuhku ke bumi setelahnya pun... rasanya tak seindah ini.

Sebut aku iblis… Ya, aku memang dia. Iblis yang bernafsu menumpahkan air mata dari senyum-senyum ceria. Mematahkan hati sepasang pencinta. Menceraikan ikatan janji setia. Menyalakan pertengkaran. Seluruhnya demi hiburan bagi jemuku. Ya, memang akulah dia.

Berabad-abad lamanya aku mengoyak hati-hati asmara dengan badai. Lalu mencampakkannya ke dalam  jurang penyesalan. Menyaksikan mereka berlumur tangis dan airmata. Untuk semua itulah aku ada. Dan... untuk itu pula aku diciptakan.

Malam ini aku memilih duduk di atas sebuah gedung tertinggi di sebuah kota yang kusinggahi.  Udara dingin sedikit meredakan bara di hatiku. Satu hari lagi telah berlalu. Aku telah menyaksikan banyak kepedihan. Lalu tertawa puas di antaranya.

***

Waktu berlalu begitu membosankan bagiku. Beberapakali gagal “menciptakan pertunjukan seru” akhir-akhir ini membuatku merasa jemu. Huhhh… jangan-jangan aku telah kehilangan kemampuanku.

Kulambungkan tubuh sesuka hati ke udara lepas sore itu. Lalu menghirupnya dengan rakus. Bara hatiku sungguh panas. Menyengat. Membuatku nyaris kehilangan kendali. Seandainya aku segera mendapat “hiburan” baru.

Hei… apa itu? Aku mendengar lamat-lamat suara tangis. Kelihatannya di sekitar sini. Kutajamkan telinga mencari asalnya. Itu dia… seorang gadis sedang menangis di bangku taman. Sepasang matanya  bengkak kemerahan. Ekspresinya sungguh muram.

Hei… tiba-tiba dia mengangkat wajahnya tepat ke arahku. Sontak aku terkejut. Astaga! Mengapa aku harus terkejut? Dia ‘kan tak bisa melihatku? Sungguh konyol tingkahku kali ini.

Gadis itu menyusut airmatanya dengan sehelai saputangan. Lalu mengerjap-ngerjapkan mata indahnya. Raut mungilnya sungguh mempesona. Sekilas aku teringat boneka cantik yang terpajang di etalase. Sekilas getir menyelinap dalam hatiku. Tunggu dulu, sebenarnya ada apa ini?

Sejurus kemudian dia menghubungi seseorang. Sepertinya kekasihnya. Mereka berbicara dengan banyak tangisan. Rupanya sang lelaki harus menikahi gadis pilihan keluarganya. Saat gadis itu muda itu menutup pembicaraan, isakan kecilnya terdengar hingga berjam-jam lamanya. Rautnya terlihat kuyu dan letih. Membuatku… ingin menyentuh pipinya...

Hei…apa ini? Apa yang kupikirkan? Aku iblis! Mengapa aku harus perduli dengannya? Seharusnya, aku bisa mengendalikan perasaanku…

***

Minggu-minggu telah berlalu. Sang gadis masih berada di sana setiap hari. Sesekali masih menangis. Sisanya hanya tenggelam dalam lamunan. Anehnya… aku masih setia duduk di sebelahnya. Mengamati semua kesedihannya.

Mungkin ada yang salah denganku. Itu sudah pasti. Tapi saat menatap senyum pedihnya, hatiku dirobek-robek seketika. Bodoh? Mungkin aku memang bodoh. Tak mengapa, karena setidaknya aku menyukai kebodohanku ini. Perasaan asing ini membelengguku, sekaligus membuatku terlena dalam pesonanya.

Hingga sore itu, seorang lelaki datang menghampirinya di bangku taman. Lalu meminta maaf pada gadis itu. Mereka larut dalam pelukan. Barulah aku mengerti, dialah orang yang membuat gadis beraut mungil itu selalu bersedih…

***

Sebut saja aku iblis… Tapi aku iblis bodoh yang akhirnya jatuh dalam perangkap cinta. Lalu membawanya pergi diam-diam saat semuanya harus berakhir. Menahan pedihnya sendiri. Sebelum menghilang bersama angin…

***

Samosir, 14 Oktober ’14 (Tepian DanauMu)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun