Mohon tunggu...
Fitri Lestari
Fitri Lestari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aksi Solidaritas untuk West Papua

20 Juli 2017   09:22 Diperbarui: 20 Juli 2017   09:28 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari kawan saat aksi mendukung self determination bagi bangsa West Papua

West Papua adalah negara yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Namun kolonial Indonesia melakukan aneksasi terhadap West Papua dengan mengumandangkan Trikora (Tiga Komando Rakyat) yang didengungkan oleh Ir.Soekarno pada 19 Desember 1961. Umur kemerdekaan West Papua hanya 19 hari, tak ada kemerdekaan yang bisa dirasakan rakyat West Papua setelah pengumandangan Trikora tersebut.

Penindasan tak berhenti sampai disitu, terus menerus tertuju, berlarian menuju pada mereka klas yang tertindas. Imperialisme muncul dan adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Imperialisme asing melirik gunung Gresberg West Papua untuk dijadikan lahan produksi, akumulasi profit. Hal itu dipermulus dengan dilahirkannya Undang-Undang pertama masa Orde Baru (Soeharto), yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing No 1 tahun 1967.

Imperialis asing banyak melakukan penindasan terhadap West Papua. PT Freeport Mc Moran, perusahaan minyak terbaik dunia bercokol di West Papua, tanah kaya bagi imperialis yang memiskinkan Orang Asli Papua. Di tanahnya yang kaya akan emas, rakyat West Papua tak sedikitpun merasakan kekayaan yang ada di tanahnya sendiri. Mlarat dan sekarat, itu yang dirasakan rakyat West Papua. Mlarat (miskin) karena kekayaan alamnya dieksploitasi besar-besaran oleh Imperialis asing. Sekarat (ajal kematian) datang menghantui rakyat West Papua. Mereka sulit mencari makanan, sagu telah tiada karena hutan digusur oleh perusahaan dan air sungai keruh hitam legam akibat dari perusahaan yang membuang limbah sembarangan.

Tak ada kebahagiaan bagi bangsa West Papua selama imperialis asing dan kolonialis Indonesia masih bercokol di tanah West Papua.

Penindasan yang dilakukan imperialis asing dan kolonialis Indonesia melahirkan antagonisme-antagonisme yang kian tajam. Klas tertindas mengalami gencetan hidup yang membuatnya semakin tak memiliki martabat. Sampai-sampai Orang Asli Papua kian hari kian berkurang, menyusut, menghilang hingga tersisa 42% populasinya (Koalisi Internasional untuk Papua, 2015). Banyak pembunuhan yang dilakukan pihak tak bertanggungjawab kepada rakyat West Papua, bahkan banyak konflik terjadi antar suku akibat dari adu domba sang penguasa, sampai-sampai aparat kepolisian hanya diam dan tidak bertindak untuk mendamaikan mereka. Memang aparat kepolisian adalah penindas, mereka oportunis sejati karena mendapat kucuran dana dari Freeport Mac Moran dan tidak pernah melakukan keamanan bagi rakyat West Papua. Keamanan hanya diberikan kepada mereka yang menyetorkan dana keuangan.

Vladimir Lenin dalam Revolusi Sosial dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendirii (1916) menulis, "Kemenangan sosialisme harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya dan, sebagai akibatnya, tidak hanya membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya di antara bangsa-bangsa, tetapi juga memberikan hak kepada bangsa-bangsa yang tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu hak untuk bebas memisahkan diri secara politik". Memang kita belum berada di tatanan masyarakat sosialis namun untuk membangun sosialisme, kita sebagai manusia yang mengaku berpaham sosialis harus mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa tertindas.

Mendukung dengan menyuarakan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua adalah salah satu bentuk solidaritas kepada West Papua. Di Indonesia telah lahir Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) yang bersolidaritas kepada bangsa West Papua yang tertindas. Aksi-aksi yang dilakukan FRI-WP banyak mengalami represifitas dari aparat militer. Massa aksi dipukul, ditendang, dihajar. Muka dan tubuh massa aksi lebam, merah, berdarah. Mengapa aparat militer getol merepresif massa aksi FRI-WP ? Bahkan bukan hanya aparat militer namun juga sipil reaksioner ikut memukul, menendang, dan menghajar massa aksi. Apa yang ada didalam logika mereka? Mereka adalah penindas yang tak secuil pun berpihak kepada rakyat yang tertindas. Apa mereka pikir massa aksi melakukan perbuatan makar sehingga mereka harus melalukan represifitas?

Penting untuk diketahui bahwa Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) bukan tindakan makar. Dalam kamus KBBI Online tertulis, "makar1/ma*kar/ n 1 akal busuk; tipu muslihat: segala -- nya itu sudah diketahui lawannya; 2 perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya: karena -- menghilangkan nyawa seseorang, ia dihukum; 3 perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah: ia dituduh melakukan.

Makar diatur didalam Pasal 104 KUHP, disebutkan bahwa makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Pasal 107 juga menjelaskan mengenai kejahatan keamanan negara, "makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun".

HMNS bukan tindakan makar karena HMNS adalah hak setiap bangsa yang jelas dilindungi, tercantum didalam Pembukaan (Mukadimah) Undang-Undang Dasar 1945, "bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa". HMNS juga merupakan hak sipil dan politik yang diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia pada 28 Oktober 2005. Pasal 1 tertulis, "semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan, ekonomi, sosial dan budaya mereka". HMNS juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Jadi mengapa aparat militer dan ormas reaksioner melarang dan melakukan represifitas kepada massa aksi yang menyuarakan HMNS? Adalah penindasan yang sungguh jelas terlihat. Adalah bahwa mereka merupakan unsur-unsur yang anti demokrasi dan berpihak pun mendukung penuh penindasan yang dilakukan imperialis asing dan kolonialis Indonesia. Sudah jelas-jelas Indonesia mengamini HMNS lewat Undang-Undang yang dilahirkannya sendiri maupun dari ratifikasi namun penindasan terus dilakukannya. Kita yang bersolidaritas telah melakukan aksi perjuangan yang benar bahkan dilindungi oleh hukum bahwa jelas HMNS bukanlah makar.

Penulis : Fitri Lestari, Presidium SIEMPRE (Serikat Pembebasan Perempuan) perwakilan dari organisasi PEMBEBASAN kolektif Jogja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun