Mohon tunggu...
Fitri Lestari
Fitri Lestari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lawan Kriminalisasi, Rebut Demokrasi dan Berika Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua

24 Maret 2017   14:08 Diperbarui: 24 Maret 2017   14:19 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koordinator Lapangan memimpin Aksi Solidaritas untuk Obby Kogoya (21/3/2017)

Yogyakarta - (selasa, 21/3/17) aksi solidaritas untuk Obby Kogoya telah dilaksanakan pada hari selasa, 21 Maret 2017 pukul 10.30 WIB sampai 11.30 WIB. Aksi tersebut bertempat di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Massa aksi terdiri dari kawan-kawan pro demokrasi seperti FRI WP (Front Rakyat Indonesia untuk West Papua), AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), PPI (Persatuan Pemuda Indonesia), LSAH (Lembaga Studi Advokasi Hukum) dan juga individu-individu progresif revolusioner.

Aksi tersebut dilaksanakan untuk solidaritas kawan Obby Kogoya yang mendapat kriminalisasi dari pihak kepolisian. Obby Kogoya ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses hukum acara pidana yang berlaku. Obby ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada bukti permulaan yang cukup. LBH Yogyakarta sebagai Lembaga Hukum yang membantu proses hukum Obby pernah menanyakan terkait bukti yang menujukkan bahwa Obby patut ditetapkan sebagai tersangka, namun penyidik tidak pernah menunjukkan apa bukti dalam hal ini saksi yang pernah diperiksa dan alat bukti lain yang ditemukan untuk menetapkan Obby sebagai tersangka.

Kriminalisasi terhadap kawan Obby dimulai dari adanya peristiwa aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi Papua pada 15 Juli 2016 di Asrama Kamasan Papua. Keadaan Asrama Papua pada waktu itu sudah dikepung oleh kurang lebih 800 aparat militer. Tak hanya militer namun juga kelompok sipil reaksioner turut andil dalam pengepungan dan represifitas. Mereka membawa pentungan, meneriaki kafir, anjing, babi, dan monyet kepada mahasiswa-mahasiswi Papua.

Obby yang pada waktu itu akan masuk ke asrama (melalui pintu belakang) untuk memberikan ubi kapada kawan-kawannya dihadang oleh aparat kepolisian. Obby bersama lima kawan yang lain direpresif oleh aparat kepolisian, mereka pun ditangkap dan Obby ditetapkan sebagai tersangka.

Obby ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Pasal 212 jo. 213 KUHP Sub 351 ayat 2 KUHP yang pada intinya Obby Kogoya dituduh melawan petugas dengan melakukan kekerasan atau melakukan penganiayaan. Sementara banyak video, foto-foto dan keterangan-keterangan yang menunjukkan sebaliknya. Obby Kogoya justru menjadi korban pengeroyokan/pemukulan dan penganiayaan serta proses peradilan yang tidak adil yang dilakukan oleh aparatur negara.

Di agenda aksi damai tersebut, kawan-kawan Papua hanya menyatakan pendapat politiknya terkait kemerdekaan Papua Barat. Seharusnya Negara menjamin kebebasan untuk berpendapat mengenai kemerdekaan bagi bangsanya sebagaimana termaktub pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, "bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa". Namun sayangnya watak penjajahan militer kepada bangsa Papua tidak dapat dihilangkan. Nyatanya ketika kawan-kawan Papua menyatakan pendapat politik untuk kemerdekaan Papua mereka mendapatkan represifitas dari militer dan sipil reaksioner.

Senja yang mewakili organisasi Pembebasan-PPRI (Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia) Yogyakarta menyampaikan orasi politik di depan gedung Pengadilan Negeri Yogyakarta, "Kejahatan militer terhadap bangsa Papua dan Rakyat Indonesia mencerminkan watak penjajahan sebagaimana TNI/Polri yang terbentuk dari warisan watak kolonialis. Yakni yang turun dari kolonialisme Belanda (KNIL) sebagai salah satu institusi militer Belanda yang berfungsi untuk menjajah Nusantara pada waktu itu. Militer TNI/Polri juga mewarisi watak fasis yang turun dari kolonialisme Jepang (PETA)".

Kejahatan dan represifitas militer dan polri yang bekerjasama dengan sipil reaksioner adalah bentuk dari kejahatan yang membunuh ruang-ruang demokrasi. Pembungkaman ruang demokrasi tersebut menjadikan ketidaknyamanan untuk bertahan hidup bagi Rakyat Indonesia. Militer dan Polri melupakan apa yang telah tertera pada Pasal 28 UUD 1945 bahwa Rakyat Indonesia berhak mendapatkan keamanan dan kenyamanan untuk bertahan hidup.

"Pembungkaman ruang-ruang demokrasi oleh militer dan polri terjadi di Kendeng, Sukamulya, pun bahkan di Yogyakarta sendiri yakni di Cemara Sewu, Kulon Progo dan Kampus-kampus yang mempunyai kebangkitan organisasi pergerakan. Militer menghambat kemajuan individu untuk mewujudkan demokrasi. Militer menjadikan Rakyat Indonesia tidak hidup dengan rasa aman dan nyaman. Militer pun merepresif kawan Obby yang ingin menyampaikan pendapat politik untuk kemerdekaan West Papua. 

Saya tidak percaya bahwa Obby bersalah. Saya yakin Obby tidak bersalah, yang bersalah adalah militer itu sendiri yang bahkan memberikan represifitas pada kawan Obby", jelas Marlen dalam orasi politiknya, ia mewakili organisasi PMD-PPRI Yogya (PMD singkatan dari Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi).

Aksi solidaritas untuk Obby Kogoya yang dihadiri kurang lebih 50 orang berlanjut dengan penuh semangat terlebih untuk menyampaikan ke khalayak luas untuk kemerdekaan bangsa West Papua. Pembukaan UUD 1945 yang berisikan "kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan harus dihapuskan" harus diwujudkan segera agar penjajahan di atas dunia terutama di West Papua tidak akan ada lagi. Hak menentukan nasib sendiri bangsa West Papua adalah solusi demokratik yang harus diwujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun