Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin. WHO Certificate of Achievement on Zoonotic disease-One Health; Antimicrobial resistance; Infodemic Management; Environment, climate change and health; Artificial Intelligence for Health; Health Emergency Response, etc. Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Bidang peminatan kebijakan kesehatan mencakup Infectious disease, Health system, One Health & Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Impian Terpendam, Artikel Berita Kesehatan "Next Level"

17 Desember 2024   15:36 Diperbarui: 18 Desember 2024   10:36 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil merenung dari balik jendela meja kantor, ide muncul dengan pemikiran seputar bagaimana menyajikan pemberitaan kesehatan yang "next level." Renungan tersebut saya lakukan pada 2019 silam, bertepatan dengan 4 tahun saya berkecimpung sebagai jurnalis kesehatan.

Pada waktu itu, pikiran melayang, "Rencana mengangkat topik untuk artikel berita kesehatan seperti apa yang ingin saya lakukan ke depannya?" Ada rasa menggebu di hati, "Saya tidak ingin menulis artikel berita kesehatan yang 'biasa-biasa saja'. Saya juga ingin liputan yang lebih menantang lagi."

Semua pemikiran itu bukan serba dadakan, melainkan tergelitik dengan pengalaman yang telah saya lalui. Makna artikel berita kesehatan "next level" yang berencana ingin saya lakukan, pertama adalah mengulas kondisi dan pelayanan kesehatan di pelosok daerah.

Kedua, mengelaborasi isu kesehatan tingkat nasional dan internasional (kebijakan, program implementasi dan lainnya). Ketiga, melawan misinformasi dan disinformasi.

Dari ketiga inti 'next level' tersebut, saya turunkan ke dalam rancangan penerapannya.

Liputan khusus ke pelosok, daerah 3T hingga kawasan lintas batas negara 

Saya beberapa kali liputan ke daerah -- ini bisa hitungan jari. Belum semua daerah di Indonesia yang saya jajal. Bayangkan, kalau dihitung sekarang, kita punya 38 provinsi. Dan setiap daerah punya kondisi geografis yang berbeda-beda.

Tiap kali saya menjejak ke daerah, ada dua hal yang selalu jadi sorotan pribadi, yaitu fasilitas kesehatan (Puskesmas, rumah sakit) dan sekolah. Ya, saya selalu memikirkan, di mana, bagaimana warga mengakses kesehatan dan pendidikannya.  

Dalam perjalanan yang pernah saya lalui, pemandangan sepanjang jalan itu antara satu rumah penduduk dengan yang lain cukup jauh jaraknya, kiri-kanan pepohonan, sawah seluas-luasnya, bukit di sana sini. Ataupun kalau ada jejeran rumah penduduk, Puskesmas dan sekolah lumayan jauh.

Khusus kesehatan, setiap daerah punya problem tersendiri. Ada yang daerahnya banyak kasus malaria, demam berdarah, stunting masih tinggi dan sebagainya. Dari sisi fasilitas kesehatan, ada yang jaraknya jauh, bangunannya perlu perbaikan, minim tenaga kesehatan dan dokter atau alat kesehatan terbatas.

Tantangan lain juga mencapai pemukiman penduduk di area pegunungan, yang mungkin hanya ada akses transportasi pakai helikopter. Belum lagi kondisi pelayanan kesehatan  di pulau terpencil, terpisah dari daratan. 

Akses ke sana harus pakai perahu atau kapal feri dan mungkin mempunyai satu-satunya puskesmas. Dan bagaimana juga layanan kesehatan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) lain.

Menengok Rumah Sakit Kapal

Indonesia punya rumah sakit kapal atau rumah sakit apung untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, terutama ke pulau-pulau kecil. 

Saya sempat berpikir, "Ingin rasanya berkesempatan ikut berlayar untuk meliput perjuangan dokter atau tenaga medis dalam memberikan pelayanan kesehatan ke sana."

Ketika bencana alam terjadi, rumah sakit kapal ikut andil memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang terdampak. Ulasan pemberitaan mendalam mengenai rumah sakit kapal masih terbilang jarang. 

Penguatan kesehatan di lintas batas negara

Satu hal yang turut menjadi perhatian saya, yakni pelayanan kesehatan bagi penduduk yang tinggal di kawasan dekat lintas batas negara serta para pelintas yang melintasinya. Khususnya terkait kesiapsiagaan dan respons menghadapi importasi kasus penyakit.

Merujuk informasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dapat menjadi titik rawan ancaman kesehatan masyarakat. Misalnya, penyakit infeksi baru (Emerging Infectious Diseases/EIDs). Oleh karena itu, memastikan keselamatan dan kesehatan para pelintas batas di pintu masuk negara (Point of Entry) tersebut sangatlah penting.  

Indonesia telah membangun 15 PLBN -- dari target 18 PLBN -- sepanjang 2015 sampai 2024. Rinciannya, 7 PLBN dibangun di 2015-2019 dan 8 PLBN dibangun pada 2020-2024.

Saya membayangkan, sebuah kesempatan langka liputan atau dinas luar kota langsung ke perbatasan negara. Hal itu akan sangat menarik diulas dan tidak semua orang punya kesempatan melihat lebih dekat PLBN.

Liputan eksklusif nasional dan agenda internasional ke luar negeri

Saya pernah meliput agenda kesehatan sehari-hari yang eksklusif dan terbatas. Artinya, hanya dipilih media-media nasional tertentu saja. Menurut saya, format seperti ini, sangat membantu untuk elaborasi isu kesehatan yang diangkat.

Sebab, peluang waktu untuk mewawancarai narasumber lebih banyak, sehingga pemberitaan yang ditulis tidak sekadar seremonial saja. Selain itu, format liputan seperti kunjungan ke pabrik obat atau vaksin, kedatangan delegasi atau tamu-tamu negara untuk belajar penanganan kesehatan ke Indonesia ini akan sangat menarik diulas.

Di tingkat internasional, saya berkeinginan meliput isu kesehatan global ke luar negeri. Keinginan ini sama sekali belum terwujud. Padahal, ada beberapa agenda kesehatan internasional yang digelar rutin tahunan. 

Munculnya ide ini dilatarbelakangi, kala saya memerhatikan media nasional lain mengulas topik "Liputan Khusus", misalnya, Liputan Khusus Perubahan Iklim, Kabar dari Jepang (atau negara lain) dan lainnya.

Ada pula liputan pertemuan kesehatan internasional lainnya, misalnya kerja sama bilateral, multilateral maupun kunjungan ke rumah sakit ataupun pusat pelayanan kesehatan di luar negeri. Membaca itu semua, saya bergumam pelan, "Sekeren itu, saya mau nulis juga."

Memperbanyak tulisan cek fakta mengenai hoaks-hoaks kesehatan

Terakhir, saya ingin memperbanyak tulisan cek fakta yang meluruskan soal hoaks kesehatan. Cek fakta di redaksi pemberitaan biasanya punya tim khusus. Tim cek fakta pun menggarap isu-isu lainnya, bukan hanya kesehatan.

Di titik ini, saya berpikir, perlunya penulis kesehatan sendirilah yang dapat lebih banyak menulis cek fakta soal hoaks kesehatan. Terlebih lagi, punya jejaring langsung untuk mengontak dokter, tenaga kesehatan, pengamat kesehatan, pakar kesehatan hingga pejabat pemerintahan terkait.

Problem hoaks kesehatan seakan tak pernah habis. Ada hoaks lama, kemudian disebarluaskan lagi padahal sudah ada penjelasan faktanya. Ada juga hoaks baru bermunculan yang dikaitkan dengan situasi lain, kerap kali diumpamakan dengan cocoklogi-cocoklogi.

Apabila kita telisik lebih jauh, hoaks kesehatan terbilang banyak sekali beredar di media sosial dan pesan jejaring seperti WhatsApp. Cepat sekali menyebarnya, mulai dari hoaks tips kesehatan, hoaks penyakit, hoaks virus dan sebagainya.

Gambaran rancangan keinginan saya di atas mungkin beberapa di antaranya, sudah dilakoni teman-teman jurnalis di desk kesehatan atau desk lainnya. Ya, masing-masing orang punya pengalaman berbeda dan tergantung kebutuhan redaksi medianya.

Saya tidak tahu ke depannya, apakah ide menulis artikel kesehatan ini akan terwujud. Karena untuk mewujudkannya, saya tidak bisa berdiri sendiri. 

Kebutuhan untuk mengakses narasumber, menentukan dan merancang perjalanan ke lokasi liputan, kesempatan undangan liputan luar negeri, semua itu perlu direncanakan matang.

Satu hal yang terus tebersit, saya pun tidak tahu ke depannya, apakah (masih) menulis artikel kesehatan atau tidak. Harapannya, ya saya ingin terus berkarya lewat tulisan kesehatan, di manapun tempat saya bekerja. 

Namun, hari ini, esok dan seterusnya, tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi. Ataukah ide "next level" saya ini, mungkin hanya berakhir menjadi mimpi-mimpi di siang bolong, yang tak tercapai. 

Terkadang, saya berangan-angan, "Andaikan ada keajaiban datang untuk mewujudkan ide artikel berita kesehatan 'next level' ini..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun