Anda ingin memahami hidup 'sehidup-hidupnya?' Saya sarankan Anda berkunjung ke rumah sakit. Di sanalah Anda pasti akan bersyukur betapa Anda sekarang diberi kesehatan dan kesempatan hidup lebih baik.
Tak perlu menggerutu, hidup Anda belum sukses seperti teman-teman lain. Anda diberi tubuh sehat saja sudah sepantasnya bersyukur. Anda masih doyan makan, bisa jalan-jalan, dan menghirup oksigen alami merupakan nikmat yang luar biasa.
Selama dua minggu ini, saya harus menjalani serangkaian persiapan operasi di salah satu rumah sakit ternama di Depok, Jawa Barat. Ruang rawat inap, tempat saya menginap memuat tiga pasien. Pasien yang menderita sakit memang membuat saya berpikir, sehat itu mahal.
Pasien yang menginap datang silih berganti. Kondisi pasien yang satu ruangan dengan saya cukup berat. Tatkala mendengar penyakit dan rintihan kesakitan akibat dipasang alat dan sakit bisa dibilang memilukan. Bahkan saya merinding ngeri, bukan karena melihat hantu, melainkan membayangkan kondisi pasien tersebut.
Pasang Selang ke Usus
Anda tak perlu menunda ke dokter saat terkena muntaber (muntah berak-berak). Terlebih lagi meminum obat-obatan ala warungan yang belum tentu sembuh. Muntaber Anda bisa saja jadi makin parah. Seperti halnya, seorang nenek yang dirawat di sebelah saya.
Ditemani anak lelaki dan keponakannya, sang nenek berkalli-kali ganti pembalut untuk mengurangi intensitas ke kamar mandi. Ternyata sang nenek mengalami muntaber. Muntah-muntah agak berkurang tapi buang air besar dalam jangka waktu pendek masih terjadi.
Saya pikir muntaber biasa yang cukup parah sampai kekurangan oksigen. Sang nenek menderita muntaber berdarah, buang air besar berdarah. Bulu kuduk saya makin merinding saat dokter mengatakan, pasang selang sampai ke usus.
Hal tersebut untuk melihat kondisi lebih jelas usus pasien. Hasil pemeriksaan USG terbilang tidak begitu rinci memahami kondisi usus pasien. Dipasang selang? Terbayang wajah almarhum nenek saya yang dipasang selang pernapasan dari hidung.
Luar biasa sakit. Bagaimana sakitnya kalau dipasang selang sampai ke usus?
Diskusi keluarga berlangsung, saya cukup menyimaknya. Bukan sengaja menguping, suara mereka memang jelas terdengar. Dari penuturan sang nenek, sebelumnya ia pernah dipasang selang sampai ke usus.
Pengalaman itulah yang membuatnya justru trauma. Rasa sakit sekaligus mual dan muntah ia alami. Sang nenek juga sudah memberi tahu dokter akan traumanya. Demi kesembuhan, dokter memang sangat menyarankan dipasang selang untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kalau sudah muntaber berdarah terbilang parah. Anda bisa membayangkan, kondisi usus sudah parah. Entah apa yang terjadi pada sang nenek. Tak berapa lama, ia sudah pindah ruangan. Semoga sakitnya lekas sembuh, Nek.
Lain pula nenek berusia 80-an tahun. Ditemani anak-anak dan menantunya, nenek yang dipanggil eyang sudah sangat sepuh. Saat tiba di ruang rawat inap, ia duduk di kursi roda. Bicaranya sudah tidak jelas, hanya gumaman yang samar terdengar.
Dari penuturan anaknya, sang eyang mengalami komplikasi sakit, diabetes, darah tinggi yang sudah menjalar ke mana-mana. Bahkan anaknya berkata kepada suster yang menangani eyang, "Eyang sudah jadi pasien langganan di rumah sakit ini."
Terngiang kata-kata 'pasien langganan,' kalau sudah usia sepuh memang mau apa dikata. Pada akhirnya, manusia bisa saja berada di titik terendah dan tidak mampu melakukan rutinitas sehari-harinya. Berkali-kali suster melakukan pemeriksaan darah dan tensi sang eyang.
Eyang juga sulit bernapas, ia diberikan alat bantu oksigen. Melihat tabung oksigen, betapa oksigen itu mahal. Bersyukur Anda masih bernapas normal. Tak menunggu hitungan jam, eyang kehilangan kesadaran. Ia dipanggil-panggil anak dan menantunya tidak ada respons.
Pun begitu suster yang memanggil eyang. Tensi kembali diperiksa. Saya terkejut mendengar, tensi eyang dari 100 makin menurun drastis menjadi 80 sampai 70. Infus yang tertancap di tangan saya seakan terasa sakit. Kepala saya tiba-tiba pening.
Membayangkan, kondisi pasien di sebelah saya sudah hilang kesadaran. Lalu bayang-bayang maut di depan mata membuat saya bergidik. Jujur saya amat takut. Tebersit saya ingin pindah ruang rawat inap. Apa yang Anda lakukan jika dalam kondisi seperti saya?
Malam menjelang, sang eyang masih tidak merespons saat dipanggil. Pada akhirnya, saya juga tidak tahu nasib eyang. Malam itu juga, eyang pindah ruang rawat inap. Saya cukup bernapas lega karena ketakutan tidak makin menjadi-jadi.
Semoga diberikan jalan yang terbaik bagi eyang...
Depok, 1 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H