"Patung Pak Tani itu yang di dekat Stasiun Gondangdia..."
Kalimat yang diucapkan ayah belasan tahun silam terngiang di benak saya. Anda pasti tertawa saat mendengar saya belum pernah melewati Patung Pahlawan, yang akrab dikenal dengan Patung Pak Tani. Tinggal di Depok, Jakarta menjadi tempat 'mewah' dan 'langka' bagi saya.
'Mewah' karena berbagai pusat perbelanjaan elit, gedung-gedung pencakar langit, dan perusahaan-perusahaan bergengsi selalu terbayang di otak saya. Tak heran, saya begitu antusias tatkala kaki menjejak di Patung Pak Tani.
Langkah kaki kembali dilanjutkan menuju Musem Kebangkitan Nasional. Jalan di sepanjang Patung Pak Tani dimeriahkan dengan bendera-bendera berwarna merah. Entah bendera apa karena saya tidak membaca tulisan di benderanya. Panas matahari terhibur dengan obrolan ringan, canda tawa teman-teman Tau Dari Bogger (TDB) yang ikut wisata KRL.
Jepretan kamera DSLR dan ponsel kerap kali dilakukan teman-teman blogger. Rasanya seakan tidak mau kehilangan momen. Pose sambil berterik mesra dengan matahari memang asyik, terlebih lagi ramai-ramai dilakukan.
"Museum Kebangkitan Nasional sepi. Bahkan sepi banget. Harga tiket masuk murah. Hari libur biasa saja sepi…”
Terngiang kesan kerabat saya yang pernah mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional. Saat berkunjung dengan teman-teman blogger, suasana sepi luluh. Keriuhan terjadi di dalam, suara anak-anak berpakaian adat sambil menari menjadi pemandangan yang seru.
Di dalam museum
Diorama seukuran manusia sedang belajar di ruangan begitu menarik perhatian. Papan tulis hitam, pengajar di depan kelas, dan peserta yang belajar. Sebagian besar diorama peserta yang belajar laki-laki memakai pakaian ala Jawa dan blangkon.
Memasuki ruang bedah dan anatomi, saya disambut dengan kerangka manusia dalam kotak kaca. Dari keterangan yang tertulis, kerangka manusia yang dipajang benar-benar asli. Dari ukuran kerangka manusia, sepertinya kerangka manusia berasal dari Asia. Tidak tinggi layaknya orang-orang Eropa.
Ruang asrama membuat saya bergidik. Ruangan yang luas dengan kiri-kanan tempat tidur, kasur dan selimut putih. Lemari kecil menaruh pakaian dan baju dokter berwarna putih tergantung di lemari. Suasana panas di dalam ruang asrama mungkin terpengaruh cuaca panas di luar.
Di sudut pilar, saya memerhatikan sekitar area museum. Pohon-pohon dan rerumputan masih hijau. Suasana memang akan terasa sangat sepi bila hanya segelintir pengunjung saja yang berkunjung ke museum ini.
Menutup perjalanan
Selesai berputar-putar di Museum Kebangkitan Nasional, perjalanan bersama teman-teman blogger dilanjutkan ke Es Krim Baltic. Berkunjung ke Es Krim Baltic menjadi titik pemberhentian akhir sesi tur KRL ini. Makan es krim tempo dulu memberikan sensasi tersendiri. Es krim yang tertulis sejak 1939 membuat saya kembali ke masa tempo dulu.
Jakarta, 14 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H